Menginjak 20 tahun membuat saya semakin sadar. Bahwa pada setiap
langkah yang diayun akan ada efek domino yang mengikuti. Entah hanya berdampak
dua hari, tiga minggu, empat bulan, lima tahun, atau bahkan selamanya. Semakin
sadar bahwa hal tersulit yang harus kita pelajari dalam hidup adalah belajar
ikhlas dan menerima apa yang sudah menjadi kodratnya untuk kita terima. Bukan,
benar-benar bukan tentang fisik atau materi. Tapi lebih kepada sesuatu yang
sudah berusaha mati-matian kita perjuangkan tapi hasilnya justru jauh dari yang
kita ekspektasikan.
Saya teringat kisah Najwa
Sihab, presenter cantik dan kritis itu suatu hari pernah hadir dalam satu acara
talkshow dan bercerita soal
kekecewaan terbesarnya yang pernah dirasakan. Hal itu diawali saat dia
mengandung putrinya, selama tiga atau empat bulan dia harus menjalani bed rest dan menghentikan seluruh
aktivitasnya jika ingin bayi yang ada di dalam perutnya terjaga. Pasalnya,
kondisi si bayi dinyatakan sangat lemah dan rentan. Bayangkan, selama
berbulan-bulan itu dia harus berada di tempat tidur dan tidak boleh bergerak
sedikitpun. Jangankan Najwa Sihab yang biasa padat aktivitas, saya yang masih
sering malas-malasan pun sangat mungkin stress jika ditantang tidur selama
berbulan-bulan dan tidak boleh menggeser tubuh barang sesenti saja. Tapi apa
mau dibantah, keputusan yang diberikan Allah SWT tidak sama dengan harapan
wanita yang menikah di usia 20 tahun ini. Bayinya hanya mampu bertahan selama 4
hari dan kemudian dipanggil ke pangkuan Allah SWT. Berat dan sakit, pasti itu
yang dirasakannya. Dan rangkaian prosa kata lain yang tidak mampu saya
definisikan karena memang tidak ada yang bisa mewakili kacaunya perasaaan
manusia.
Semenjak itu saya kembali disadarkan bahwa hidup itu tidak perlu ngoyo. Sama seperti dosen Analisis dan
Desain Sistem saya di kampus. “Hidup itu
tidak usah punya target-targetan. Jalani saja sebaik mungkin dan nggak perlu
ngoyo”. Secara bahasa memang mudah untuk diucapkan, tapi dalam kehidupan
sebenarnya? Sama sekali tidak. Manusia adalah makhluk yang dipenuhi dengan
segudang hawa nafsu yang dibiarkannya mengganti nama dengan ‘target’, atau ‘impian’, atau ‘capaian’, atau apapun itu.
Yang jelas
manusia zaman dahulu sampai sekarang masih sama. Masih senang sibuk mengurusi kesenangannya
dan mati-matian mengurusi capaian yang belum tentu ingin dia raih. Faktor lingkungan
dan gaya hidup yang semakin aneh-aneh menuntut manusia memiliki tambahan
keinginan yang kadang tidak masuk akal. Alat komunikasi seharga motor baru,
atau motor seharga mobil keluarga, atau mobil seharga rumah satu komplek.
Seakan tidak pernah jera, sudah berkali-kali mengalami tapi sekan tidak pernah
pula belajar dari pengalaman. Saya pernah menyesali suatu hal karena tidak
memperjuangkan. Tapi saya kembali menyesali dan lebih menyesali ketika hal yang
benar-benar saya perjuangkan justru melenceng jauh dari perkiraan. Akibatnya
fatal. Bukan hanya saya yang kecewa. Tapi juga keluarga, teman-teman, sahabat,
dan sederet orang kecewa lainnya yang tidak mengungkapkan kekecewaannya pada
saya.
Lalu saya berpikir. Mungkin ini bukan soal bagaimana cara saya
meraih apa yang saya perjuangkan. Tapi lebih dalam dari hal itu. Mengenai apa
yang saya perjuangkan. Mungkin memang selama ini apa yang saya perjuangkan
justru belum tepat. Atau bahkan sama sekali tidak tepat. Atau cara saya dalam
memilih hal yang saya perjuangkan adalah salah.
Tidak ada yang mampu
menyembuhkan sakit hati kecuali niat dari diri kita sendiri. Pun saya pribadi
percaya bahwa kehilangan bukan hanya tentang bagaimana mengobati rasa sakit
akibat kehilangan itu. Tapi mengenai keharusan kita dalam mendeteksi
orang-orang terdekat yang sangat ingin kita nikmati waktu bersama mereka hingga
habis usia. Setelah tahu apa yang kita butuhkan, sudah tentu kita akan menjaga
itu sepenuh hati. Sehingga setelahnya, kita tidak akan pernah merasa takut
untuk kehilangan.
Catatan ini ditulis di Yogyakarta pada 23 September 2014