Sunday 21 October 2018

Haru





“Bersyukurlah dan berterima kasihlah pada Allah karena Dia telah menunjukkanmu salah satu dari ketiga rahasia-Nya: Rezeki, Jodoh, dan Mati”.

“Jangan membeda-bedakan sesuatu yang sama, dan jangan menyama-nyamakan sesuatu yang memang berbeda”.

“Kuncinya adalah: bersyukur, ikhlas, dan niat untuk beribadah seumur hidup’”.

“Semoga Nakku menjadi keluarga yang sakinah, mawwadah, warahmah”.

“Menikah adalah perjuangan seumur hidup, ketika badai sedang menghadang, ingatlah saat engkau pernah memulai”.

“Kalau yang satu sedang marah, yang satu jangan ikut marah”.

“Yang rukun ya kalian berdua, jangan pada bertengkar”.


I found my home.



Perjalanan menuju Jakarta, 21 Oktober 2018

Sunday 3 June 2018



Kemudian aku bertemu kembali setelah lebih kurang empat tahun tak pernah berjumpa denganmu. Dan kau masih hampir sama seperti dulu. Jenaka. 
Meskipun aku menangkap sedikit canggung yang masih belum bisa kau bendung. 
Entah mengapa kemarin kita memaksakan diri untuk bertemu. 
Padahal saat itu sangat terbatas oleh waktu.

Tak banyak yang kita saling ramai bicara.
Namun bagian terbaiknya adalah di tiga puluh menit terakhir kau mengajakku masuk ke toko buku dan kita menuju ke deretan rak yang sama. Lebih menyenangkan dari kita makan mi goreng asin di restoran lantai atas sana.

Dan sejak hari itu kau berhasil membuatku susah lupa.
Di mana akhir perjumpaan yang singkat itu kau tutup dengan;
“Oke. Bulan depan kita ketemu lagi ya. Aku serius”.
Lalu kita berpisah dan pulang berlawanan arah.

Tak banyak yang bisa aku tangkap, dan tak banyak yang bisa aku duga.
Dan sebaiknya memang tak usah kulakukan.

Pening kepalaku dipenuhi teka teki akan langkahmu.



19 Februari 2018




Tuesday 10 April 2018

Menuju Puncak dan Meniti Turun Gunung Cikuray (2 of 2)







Summit Time, 04.30 am
Alarm dari masing-masing ponsel peserta mulai berdengking-dengking dari pukul 04.00. Demi summit yang sempurna, mau tidak mau kami membuka mata dan mulai bersiap. Membawa beberapa cemilan dan botol air minum, sebelum menuju puncak kami memanjatkan doa bersama terlebih dahulu bersama anggota yang lain. Kira-kira mulai pukul 04.30 lah kita mulai menapaki rintangan-rintangan yang gelap tak terlihat. Oiya, jangan lupa membawa headlamp atau senter! Namanya juga di gunung, tidak mungkin ada lampu jalan.
Bagi saya, perjalanan menuju puncak cukup membuat ngos-ngos-an. Mungkin karena mesin belum panas. Ya mungkin saja. Tapi ya apa mungkin karena lapar juga bisa. Atau karena memang stamina yang terlalu letoy. Yang jelas, jarak tempuh kira-kira hampir 1 jam. Padahal seharusnya untuk anak muda yang masih lincah hanya butuh 20 menit. Tidak banyak yang saya ingat, karena jalanan masih gelap. Namun di tengah perjalanan memang beberapa kali kami sempat berhenti untuk sekedar makan soyjoy atau mencuri-curi nafas.

Lambat laun, ranting-ranting pohon rimbun yang menaungi kami mulai tersibak. Dan harapan itu muncul berwujud warna langit yang berwarna jingga keunguan. Nampak perlahan-lahan. Sekitar pukul 5.45 tibalah kami di puncak 2812mdpl. Hening.
Terlalu indah untuk dideskripsikan. Mata ini dimanjakan dengan gulungan awan tebal berlapis yang terhampar begitu elok. Seperti berada di atas awan. Berpadu dengan semburat matahari terbit, tiada yang ingin diucapkan selain rasa syukur.

Kontemplasi di Puncak Gunung
Apa ya. Ya mungkin seperti inilah yang selalu dibilang orang-orang, bahwa terseok seoknya di perjalanan itu akan lunas terbayar saat kita mendapat bonus pemandangan di puncak sini. Tapi kemudian saya berpikir kembali, mengapa pula orang-orang berpesan bahwa jangan jadikan puncak adalah tujuan? Setelah lama terdiam, sepertinya pelan-pelan saya menemukan jawabannya.

Mungkin saat itu puncak gunung terasa begitu indah karena memang sejak pertama kali kaki ini menapak keluar dari kos-kosan, saya tidak berekspektasi apa-apa terhadap cantiknya puncak Gunung Cikuray. Perjalanan yang berat dan minim pemandangan sudah saya ketahui infonya. Betul-betul saat itu memutuskan beramai-ramai naik gunung murni karena memang mau berpetualang saja. Tidak hujan di perjalanan saja sudah kami syukuri bukan main. Jadi memang tidak ada keinginan yang muluk bahwa nanti akan mendapati keindahan di puncak. Tidak adanya ekspektasi justru membawa saya menjadi sangat bersyukur ketika mendapatkan sesuatu.

Di Puncak Ada Penjual Tahu
Ya, di puncak Gunung Cikuray satu-satunya penjual yang exist adalah penjual tahu . Kami menyebutnya tahu dingin. Karena memang tahunya dingin. Terlalu lama di puncak sepertinya. Hahahahah. Sungguh tidak terbayang bagaimana cara abang-abang itu membawa gerobak pikulnya naik ke atas. Sayang sekali lupa kefoto. Selain itu tidak ada lagi penjual makanan di atas sana. Tidak ada penjual air, mi instan, deterjen, shampoo, dsb. Juga tidak ada toilet umum. Jadi ya betul-betul harus siap logistic dari bawah.

Kondisi di puncak terdapat satu gardu, beberapa batang pohon, dan sisanya tanah lapang (tidak terlalu lapang) yang terhampar. Ternyata cukup banyak pendaki yang menggelar tenda bermalam di sini. Haduh, tak terbayangkan bagaimana dinginnya di malam hari atau kalau-kalau ada angin besar sedang datang bertandang.



Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger