Tuesday 10 November 2015

Kejujuran & Kemarahan

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://izquotes.com


Jujur dan marah adalah dua emosi yang awalnya saya pikir tidak saling terikat, atau malah berbanding terbalik. Sejak kecil, para siswa di sekolah diajarkan untuk menjunjung tinggi kejujuran dan mengendalikan rasa marah. Bahkan kalau bisa, jangan marah. Tapi pun, pada akhirnya dua hal itu diinterpretasikan secara berbeda oleh masing-masing individu. Bebas. Tidak ada batasan. Selama kejujuran itu berangkat dari niat baik, rasanya sah-sah saja diungkapkan. Sampai terbitlah kalimat populer “terimalah kejujuran meskipun itu pahit”.

Hingga pada suatu hari saya menyadari sesuatu yang mungkin memang sudah banyak orang sadari. Orang marah itu kemudian sering berkata lebih jujur.

Banyak kejujuran-kejujuran yang tak terungkap, disembunyikan rapat-rapat oleh mereka yang merasa masih ingin menjaga perasaan orang lain. Tapi pun, banyak pula terungkapnya kejujuran justru  dari meluapnya rasa marah seseorang. Entah mana cara yang lebih manis.


Ada seseorang berkata pada saya : “jangan dengerin omongan dia, namanya juga orang lagi marah”.


Tapi benarkah?
Benarkah bahwa memang kita tidak boleh mendengarkan kata-kata orang yang marah?

Sepanjang perjalanan hidup, berkali-kali saya menghadapi orang marah dengan caranya masing-masing. Dengan segala kalimat yang terucapkan, (meskipun kadang di luar batas bayangan untuk bisa didengarkan), dalam setiap kemarahan ada kejujuran. Kejujuran yang terus tersimpan rapi, dan pada akhirnya harus dikeluarkan karena berbagai hal. Bisa jadi memang kotak kejujuran dalam hati orang tersebut sudah terlalu penuh, jadi harus dibagi saat itu juga. Atau bisa jadi, kemarahan itu sudah melebihi rasa ‘keinginan menjaga perasaan’ orang lain. Pada akhirnya, semua sama. Pada setiap kemarahan ada kejujuran.

Meskipun memang benar, kejujuran yang diungkapkan secara baik-baik lebih mudah diterima orang lain daripada kejujuran yang diungkapkan ketika dia diliputi rasa marah.

Tidak semua kejujuran itu harus diungkapkan. Tidak semua yang kita rasakan harus diucapkan.  

Sebagai manusia normal yang beberapa kali menerima luapan rasa marah orang lain, kadang mata hati saya buta. Bahwa ada kejujuran di balik kemarahan orang tersebut. Ada alasan di balik kalimat-kalimat yang tajam. Ada maksud di balik ucapan-ucapan.

Tapi memang butuh kesabaran yang luar biasa untuk mampu memilah kejujuran di balik rasa marah seseorang. Butuh rasa memaafkan yang begitu besar untuk menyisihkan kemarahan dan mempercayai kejujuran.

Maka dari itu, benar kata nenek moyang bahwa buatlah perhitungan ketika sedang marah. Marahlah jika memang harus marah, tapi hati-hati dengan semua kalimat yang terucap meskipun itu ada kejujuran.

Saya teringat pesan dari Almarhum Bapak saya :
Meskipun sedang marah, kita tidak boleh sampai mengucapkan sesuatu yang mendahului takdir.”

Yang dimaksud dengan sesuatu yang mendahului takdir adalah sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan, tapi kita sudah menyatakan. Contoh simpelnya adalah ucapan “aku nggak mau ngomong lagi sama kamu”.
Meskipun itu ‘hanya’ dianggap kemarahan sesaat, ternyata hal itu jauh lebih baik tidak diucapkan. Alasan logisnya adalah: kita tidak pernah tahu, apakah kita bisa untuk selamanya memang tidak berbicara dengan orang tersebut? Bagaimana jika suatu hari kita butuh bantuan dari orang itu? Apakah kita bisa untuk selamanya memang mau untuk tidak berbicara dengan orang tersebut? Apakah kita benar-benar senang ketika ucapan itu benar-benar terjadi selamanya?

Selamat mengungkapkan kejujuran. Selamat menjaga kemarahan.
Selamat belajar menerima kemarahan. Selamat mencari kejujuran.



Jakarta, 10 November 2015

Kehidupan




Mengalah lah sampai tidak ada lagi yang bisa mengalahkanmu.
Merendah lah sampai tidak ada lagi yang bisa merendahkanmu.


Dalam hidup, beberapa kali terjadi hal yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak. But it was really really happen.

Berantem dengan sahabat kecil dan jarang komunikasi hingga umur dua puluhan.
Masuk di sekolah favorit dambaan anak-anak di zaman SD.
Tidak masuk di jurusan kuliah yang diinginkan.
Mendapat dosen bimbingan yang killer.
Merusakkan barang kesayangan kakak/adik padahal baru saja dibeli.
Harus merantau untuk menuntut ilmu/bekerja dan jauh dari keluarga.
Memiliki teman penyuka sesama jenis.
Melihat  kasus perampasan di depan mata kepala sendiri.
Kehilangan anggota keluarga,
dan masih banyak hal ajaib lainnya terjadi tanpa pernah terbayang sebelumnya....


Hidup memang  gak asik  jika terus menerus diberi jalan mulus.
Baru tahu rasanya manis ketika pernah mengecap rasa pahit.
Baru tahu bersyukurnya permah memiliki sesuatu setelah kehilangan.
  


Sebab hidup ini tak pernah benar-benar selamanya.
Selalu ada cahaya setelah kita dengan yakin meninggalkan kegelapan.
Maka jangan pernah sekalipun menempatkan orang lain dalam ruang gelap ketika kamu tahu bahwa kamu tak punya cahaya untuk menerangi.


Allah tak pernah memberi cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.
Ingatlah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tentram. (QS. Ar-Ra’du 28)



Jakarta, 10 November 2015

Tuesday 20 October 2015

The First Step to Move On : Create Vision!




Bercerita tentang tujuan hidup, aku telah menuliskannya setahun yang lalu di secarik kertas kosong.  Waktu itu adalah penghujung tahun 2014, dan aku sedang berkumpul dengan teman-teman ESQ DIY di rumah seorang senior kami. Beruntung sekali saat itu aku hadir meskipun tidak tepat waktu. Saat diskusi itu, Kak Novel dan Kak Lia (mereka adalah sepasang suami istri yang menjadi teladan kami, hehehe) membimbing kami untuk membuat sebuah resolusi untuk tahun selanjutnya. Untuk apa? Supaya kami bisa melangkahkan kaki dengan lebih terarah, memiliki tujuan, dan tahu jalan mana yang harus dilalui untuk menuju ke sana. Bahasa gaulnya, supaya kami bisa move on dengan cara yang benar!
Kak Novel dan Kak Lia membagikan kami masing-masing selembar HVS yang kosong. Tanpa boleh menyontek, mereka mendiktekan kami banyak pertanyaan, dan kami harus menjawab satu per satu secara jujur. JUJUR.
Dimulai dari identitas utama seperti nama lengkap, tanggal lahir, usia saat ini, saudara, pendidikan terakhir dan estimasi kelulusan, hobi, cita-cita, dan mengapa kamu memilih cita-cita tersebut.
Pada sub topik kedua, terdapat pertanyaan-pertanyaan inti yang mengarahkan kami untuk menuliskan sendiri gambaran besar impian dan kesiapan dalam menjemput impian tersebut. Ada banyak pertanyaan dan harus dijawab dengan jujur sesuai dengan kata hati. Aku sendiri sekarang hanya bisa tersenyum kecil saat membaca tulisanku sendiri setahun yang lalu.
Sub topik ketiga hanya memiliki 1 pertanyaan. Apa resolusi utama kamu di tahun 2015?

Sampai saat ini, kertas itu masih aku simpan di dompet, sesuai dengan saran mereka. Tujuannya supaya aku bisa sering-sering menengok harapanku sendiri di kala aku lengah di tengah jalan dan hilang arah. Hehehe. Pada intinya, di penghujung tahun 2014 itu aku menuliskan resolusi utama di tahun 2015 adalah fokus berjalan menuju jalur berkarir. Setidaknya, di tahun ini aku ingin benar-benar memantapkan apakah aku memang ingin menjalani hidup menjadi wanita karir, atau menjalani peran yang lain.
Tidak cukup sampai di situ. Kami bahkan sudah menuliskan rencana hidup lainnya di tahun berikutnya. Benar, itu memang hanya sebatas mimpi dan cita-cita. Tapi sungguh, ketika aku kembali membaca deklarasi pribadiku ini secara tak terduga, aku seolah menemukan kembali benang merah yang akan aku runut. Aku kembali pada diriku sendiri.


Masa depan memanglah masih menjadi rahasia dari Allah. Tapi tak ada salahnya jika kita selalu menyiapkan reminder-reminder sederhana untuk diri kita sendiri dalam menjalani kehidupan. Dan ketika rencanamu ternyata terwujud satu per satu secara nyata, maka hal pertama yang muncul dari dalam hati adalah : “Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”.

JKT, 21102015

Friday 18 September 2015

Ingin Pulang




Ingin pulang adalah sebuah keinginan.

Pun makna pulang itu bukan hanya menuju rumah dimana selama ini kita tinggal.

Kadang terbersit perasaan rindu rasanya pulang. Rindu ada yang menunggu dan menyambut dengan sukacita. Meskipun kita pulang dengan tangan kosong.
Rindu pulang seperti memang benar ada yang sudah berdiri di pintu dan tersenyum lebar.
Saat berkali-kali memiliki kesempatan untuk pulang, rasanya seperti biasa saja. Dan ketika kesempatan itu sedang hilang, kini baru menyadari begitu berharganya rasa ditunggu-tunggu dan disambut. Menjadi orang yang spesial.

Apa rasanya nanti ketika diberi kesempatan kembali untuk merasakan pulang...
Samakah dengan pulang ku yang dahulu.
Apakah ketulusan dan senyuman hangat itu juga sama nyamannya.

Dan aku begitu merindukan pulang.
Pulang yang memang dinanti kepulangannya.


Jkt, 19 September  2015

Monday 15 June 2015

Accountants will be defeated by The Software?


http://www.boldcupofcoffee.com/uploads/2/6/0/2/26023817/127649.jpg?1428983550

We live in the super instant generation. The Sigit, an international indie band which came from Bandung, said on their lyric in New Generation song that:
“We are the noodle generation. Our foods made are made of preservation”.
It means that people nowadays more excited in every way which just need a short time to be processed but deserve the splendid result. That’s now happening.
 People create a creative technology and system, while the other people use it for helping them in the working area. Including in the accounting sector, we, as an accountant in whatever level, were helped by the sophisticated software. We are all do familiar with SAP (System Application and Product). This software was invented by 5 ex-employee of IBM in Mannheimm, Germany at 1972. They developed SAP to help them in 3 big sections; finance, logistic, and human resources.
Despite the expensive cost of the investment and maintenance this software, a giant and already established company realize that SAP would be increase their effectiveness and efficiency. With a little bit training and several times trying, a non accountant employee is able to do the simple accounting job. Example of the easy job which can be done by non accountant worker is: posting journal in SAP. This jobs seems be easy. But, it’s risky. Why is it risky? Every journal which were posted, related to the profit and loss, balance sheet, and financial statement directly. Financial report is the culmination of an accountant’s job. Then what is going to happen when the-posting-journals-man do not know the expected result of his job? That’s the point.
Because although the entire accountant’s job can be done by this software, but actually we, as an accountant have to reconcile and correct it before show it up to the financial report user. What seems like doesn't seem like what it's actually is. There is much breakdown step which needs a keen on accounting knowledge, deep understanding of accounting theory, and many years experience in the practical ways.
In the end, it is clear that accountant’s position won’t be defeated and displaced by technology or system. Precisely, those sophisticated software will be accountant’s tools and weapons to finish their job in a smarter way.

We are all accountant just have to keep learning.

JKT, 16062015
Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger