Monday 2 January 2017

2 of 3 : Ternyata Ada Babi Hutan Sungguhan di Papandayan!






Sudah sejak perjalanan dari Jakarta menuju Garut, teman saya sebut saja Tobing dan Harahap melulu bercanda soal babi hutan. Entah dari menirukan suara babi, membahas gerak-gerik babi, atau apapun yang berkaitan dengan babi hutan, mereka senang bukan kepalang membahasnya. Dan iseng saya bertanya:

“Babi apa Lan?”
“Babi hutan! Babi yang tingginya se anak sapi dan badannya hitam berbulu dan bertaring itu lho”
“Ih serem banget dong, masa sih.”

Teman saya Tobing ini kalau bercanda suka kelewatan, jadi waktu itu saya berpikir bahwa ceritanya adalah isapan jempol belaka. Maka saya betul-betul tak ambil pusing dan berpikir bahwa babi hanya akan kita temui nanti di hutan saja. Dan percakapan itu saya lupakan sampai akhirnya sore itu kami habiskan bermain kartu di tenda dan hujan kembali turun dengan derasnya. Mengintip dari balik celah tenda, ternyata di luar sudah petang dan angin berhembus sangat kencang. Salah satu pancang flysheet (semacam terpal untuk atas tenda) sampai terlepas dan berkibas-kibas dengan brutal. Lagi-lagi teman-teman kami harus berbenah sana-sini demi menciptakan malam yang nyaman.

Pun saya baru menyadari bahwa tenda kami tak bertetangga dan berada di area paling pinggir, paling dekat dengan hutan. Saat itu di sekitar tenda sudah gelap, hujan pun sudah bukan hanya gerimis, ditambah pula angin yang menderu-deru. Lengkap sudah suasana betul-betul mencekam. Kami sepakat untuk segera berpisah dan pergi tidur ke tenda masing-masing saja. Sampai akhirnya Bapak penjaga warung mengingatkan kami:
“Dek, itu plastik sampah makanannya taruh di atas pohon saja, supaya tidak ada (ditemukan) babi”.

Alamak!

Detik itu juga saya mematung dan merasa sangat ingin pulang. Yang benar saja! Kalau warga sekitar yang mengingatkan, berarti babi itu ada sungguhan dong? Bergegas saya menjadi yang paling cekatan mengumpulkan sampah makanan dan menggantungnya di ranting-ranting pohon. Sebelum pergi ke tenda wanita, saya sempatkan memastikan ke rekan saya;
“Lan, jadi.... babi hutan itu ada sungguhan?”
“Iya beneran ada! Dulu waktu aku dan teman-temanku bikin tenda di sini dan kami nggak taruh plastik di ranting, tenda kami dimasuki babi”.
Dan seketika lutut saya menjadi lemas....

Malam itu masih pukul 19.00.
Dan saya merasa malam mengapa sangatlah panjang. Dari seluruh lelahnya perjalanan, saya mengakui bahwa tantangan terbesar dari piknik di gunung adalah tidur di malam hari. Betapa tidak, tidak satupun dari kami anak-anak wanita membawa matras. Beberapa lembar kardus dan sleeping bag sungguh tidak membantu. Baju hangat yang berlapis, kaos kaki, sarung tangan, buff, sudah saya kerahkan tapi sama saja. Badan saya lemah terhadap dingin. Ya elah.
Catatan untuk perjalanan selanjutnya (jika ada dan terjadi): matras itu perlu!!!!

Selain dibayang-bayangi rasa dingin dan angin yang terus berhembus, hati kecil saya tidak tenang karena... takut babi!!! Maka malam yang panjang itu membuat saya terbangun setiap beberapa jam sekali. Dan setiap bangun, saya selalu menajamkan pendengaran untuk mengidentifikasi suara-suara aneh yang tidak diinginkan. Tapi syukurlah, sampai pukul 02.00 dini hari keadaan terpantau aman, sudah tidak hujan, dan badan sudah sedikit beradaptasi.

Sampai akhirnya saya dan Amel sama-sama terbangun oleh suara lolongan anjing bersahut-sahutan. Sontak saya cek jam tangan yang selalu menempel : masih pukul 04.00. Di tengah remang-remangnya lampu headlamp yang kami letakkan di ujung tenda, kami berpandang-pandangan dan berpelukan.
“Fi.....”, gumam Amel merapat.
Tak lama setelah itu, terdengarlah suara yang saya takutkan semalaman tadi.

NGGROK. NGGROK. NGGROK.

Mak!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Seketika saya komat kamit membaca doa apapun yang saya bisa. Amel dan saya sudah seperti Teletubbies yang sedang reuni. Saling mengatur nafas, kami berusaha untuk membatu dan tak bergerak barang satu centimeter pun. Sekelebat bayangan terlihat melintasi tenda kami, diiringi pelukan kami yang lebih erat satu sama lain. Demi apapun, harapan saya saat itu hanya ada dua: jangan sampai babi hutan ini ada yang mengamuk dan semoga lekas pagi.

Setengah jam yang terasa seperti sewindu itu akhirnya berakhir dengan lambat laun ada suara orang hilir mudik dan sorot lampu dari tenda teman-teman pria. Seketika saya buka retsleting pintu tenda dan bersyukur tak henti-hentinya.
“Laaaaaaaaaaaaaaaaan, tadi ada babiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!”
“Emang. Kan udah dibilang”.




2 comments:

Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger