Sudah sejak perjalanan dari Jakarta menuju Garut, teman saya sebut saja Tobing dan Harahap melulu bercanda soal babi hutan. Entah dari menirukan suara babi, membahas gerak-gerik babi, atau apapun yang berkaitan dengan babi hutan, mereka senang bukan kepalang membahasnya. Dan iseng saya bertanya:
“Babi apa Lan?”
“Babi apa Lan?”
“Babi
hutan! Babi yang tingginya se anak sapi dan badannya hitam berbulu dan
bertaring itu lho”
“Ih
serem banget dong, masa sih.”
Teman
saya Tobing ini kalau bercanda suka kelewatan, jadi waktu itu saya berpikir
bahwa ceritanya adalah isapan jempol belaka. Maka saya betul-betul tak ambil
pusing dan berpikir bahwa babi hanya akan kita temui nanti di hutan saja. Dan percakapan
itu saya lupakan sampai akhirnya sore itu kami habiskan bermain kartu di tenda
dan hujan kembali turun dengan derasnya. Mengintip dari balik celah tenda, ternyata
di luar sudah petang dan angin berhembus sangat kencang. Salah satu pancang flysheet (semacam terpal untuk atas
tenda) sampai terlepas dan berkibas-kibas dengan brutal. Lagi-lagi teman-teman
kami harus berbenah sana-sini demi menciptakan malam yang nyaman.
Pun
saya baru menyadari bahwa tenda kami tak bertetangga dan berada di area paling
pinggir, paling dekat dengan hutan. Saat itu di sekitar tenda sudah gelap,
hujan pun sudah bukan hanya gerimis, ditambah pula angin yang menderu-deru. Lengkap
sudah suasana betul-betul mencekam. Kami sepakat untuk segera berpisah dan
pergi tidur ke tenda masing-masing saja. Sampai akhirnya Bapak penjaga warung
mengingatkan kami:
“Dek,
itu plastik sampah makanannya taruh di atas pohon saja, supaya tidak ada (ditemukan)
babi”.
Alamak!
Detik
itu juga saya mematung dan merasa sangat ingin pulang. Yang benar saja! Kalau warga
sekitar yang mengingatkan, berarti babi itu ada sungguhan dong? Bergegas saya menjadi yang paling cekatan mengumpulkan sampah
makanan dan menggantungnya di ranting-ranting pohon. Sebelum pergi ke tenda
wanita, saya sempatkan memastikan ke rekan saya;
“Lan,
jadi.... babi hutan itu ada sungguhan?”
“Iya
beneran ada! Dulu waktu aku dan teman-temanku bikin tenda di sini dan kami
nggak taruh plastik di ranting, tenda kami dimasuki babi”.
Dan
seketika lutut saya menjadi lemas....
Malam
itu masih pukul 19.00.
Dan
saya merasa malam mengapa sangatlah panjang. Dari seluruh lelahnya perjalanan,
saya mengakui bahwa tantangan terbesar dari piknik di gunung adalah tidur di
malam hari. Betapa tidak, tidak satupun dari kami anak-anak wanita membawa
matras. Beberapa lembar kardus dan sleeping
bag sungguh tidak membantu. Baju hangat yang berlapis, kaos kaki, sarung
tangan, buff, sudah saya kerahkan
tapi sama saja. Badan saya lemah terhadap dingin. Ya elah.
Catatan
untuk perjalanan selanjutnya (jika ada dan terjadi): matras itu perlu!!!!
Selain
dibayang-bayangi rasa dingin dan angin yang terus berhembus, hati kecil saya
tidak tenang karena... takut babi!!! Maka malam yang panjang itu membuat saya
terbangun setiap beberapa jam sekali. Dan setiap bangun, saya selalu menajamkan
pendengaran untuk mengidentifikasi suara-suara aneh yang tidak diinginkan. Tapi
syukurlah, sampai pukul 02.00 dini hari keadaan terpantau aman, sudah tidak
hujan, dan badan sudah sedikit beradaptasi.
Sampai
akhirnya saya dan Amel sama-sama terbangun oleh suara lolongan anjing
bersahut-sahutan. Sontak saya cek jam tangan yang selalu menempel : masih pukul
04.00. Di tengah remang-remangnya lampu headlamp
yang kami letakkan di ujung tenda, kami berpandang-pandangan dan
berpelukan.
“Fi.....”,
gumam Amel merapat.
Tak
lama setelah itu, terdengarlah suara yang saya takutkan semalaman tadi.
NGGROK.
NGGROK. NGGROK.
Mak!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Seketika
saya komat kamit membaca doa apapun yang saya bisa. Amel dan saya sudah seperti
Teletubbies yang sedang reuni. Saling mengatur nafas, kami berusaha untuk
membatu dan tak bergerak barang satu centimeter pun. Sekelebat bayangan
terlihat melintasi tenda kami, diiringi pelukan kami yang lebih erat satu sama
lain. Demi apapun, harapan saya saat itu hanya ada dua: jangan sampai babi
hutan ini ada yang mengamuk dan semoga lekas pagi.
Setengah
jam yang terasa seperti sewindu itu akhirnya berakhir dengan lambat laun ada
suara orang hilir mudik dan sorot lampu dari tenda teman-teman pria. Seketika saya
buka retsleting pintu tenda dan
bersyukur tak henti-hentinya.
“Laaaaaaaaaaaaaaaaan,
tadi ada babiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!”
“Emang.
Kan udah dibilang”.
ini teh tidurnya pada miring kitu yaaa?
ReplyDeleteMiring gimana? Kita lurus kok, tidur dengan posisi wajar..
Delete