Wednesday 25 January 2017

3 of 3 : Jelajah Hutan Mati dan Taman Edelweiss Papandayan

Setelah puas berkeluh kesah terkait terdengarnya suara babi hutan di pukul 04.00 pagi itu, kami kemudian bersiap mengawali hari. Air gunung di pagi buta menjadi lebih dingin dari di siang hari, sedingin air ditaruh botol kaca di kulkas. Dingin banget deh.

Hujan gerimis semalam masih menyisakan hawa menusuk sampai ke tulang. Kami berkemas untuk menyiapkan perbekalan dalam 1 tas yang akan dibawa bergantian (oleh teman-teman pria). Air mineral beberapa botol dan snack sebagai penunda rasa lapar nanti di atas. Atas saran seorang teman yang sudah beberapa kali naik gunung, membawa Soyjoy menjadi langkah tepat untuk penolong perut yang meronta minta diisi. Ampuh!

Tujuan pertama adalah area hutan mati sambil menyambut matahari pagi. Jarak antara area tenda dengan hutan mati cukup mudah dan bisa ditempuh dalam waktu 30-45 saja tergantung dari kecepatan berjalan. Memang sedikit boros napas, tapi bisa lah, pelan pelan saja. Tidak ada panjat memanjat untuk menuju hutan mati dari area Saladah Camp. Tapi kalau ditempuh langsung dari Basecamp David, sepertinya..... lumayan. Tenang saja, dari Basecamp David menuju hutan mati pun sudah ada anak-anak tangga kok.

Area hutan mati di pagi hari dengan background langit semburat biru putih menciptakan suasana yang begitu syahdu dan menggoda kita untuk berlama-lama tetap ada di sana. Terdapat sebuah favorite spot dengan latar Gunung Cikuray yang sangat leh uga untuk foto-foto. Tapi hati-hati ya foto di situ, area rawan longsor karena berbatu-batu. So jangan terlalu ke pinggir karena kerikil-kerikil di sana membuat kita bisa terpeleset. Rekomendasi saya, bersamalah dengan partner yang memang sama-sama doyan foto-foto, jadi semuanya happy dan tidak merasa bosan karena memang di area itu hanya terbentang batang pohon yang mati, bebatuan, dan pepohonan hijau di kejauhan. Hahahahah.



Syahdu.







(FYI, foto di bawah ini diambil dalam perjalanan pulang, sekitar pukul 13.00 siang. Dan hasilnya lebih cerah daripada foto saya di atas yang diambil pagi-pagi. Tapi ya gitu deh, siapkan sunblock demi potret yang sempurna. Panas banget!!)






Perjalanan selanjutnya adalah menuju Tegal Alun, padang edelweiss yang termahsyur itu! Atas instruksi dari salah satu teman kami, kami memilih jalur memotong, ditengarai lebih cepat sampai tapi perlu perjuangan yang juga lebih lagi. Tegal Alun yang ada di balik pepohonan hutan itu kami tempuh dari Hutan Mati, dengan tanpa ada rambu-rambu atau petunjuk arah. Semua murni bergantung pada ingatan salah satu teman kami yang pernah menuju ke sana. Satu kali. Iya, tapi kami percaya aja.




Perjalanan dari Hutan Mati ke Tegal Alun sekitar 1-1.5jam sepertinya. Agak-agak lupa. Dan medan yang dilalui benar-benar terjal. Meskipun beberapa kali kami bertemu Mba Mba yang memakai rok, namun sepertinya saya lebih rekomendasikan celana sebagai outfit-nya. 80% perjalanan ditempuh dengan panjat memanjat. Tapi entah mengapa, rasanya lebih melelahkan perjalanan dari Camp Saladah ke Hutan Mati daripada dari Hutan Mati ke Tegal Alun. Atau hanya perasaan saya saja ya...




Oh iya, yang perlu dicatat adalah, acara panjat memanjat itu didukung oleh akar-akar pohon yang kuat dan udara yang lembap. Apalagi jika malam sebelumnya hujan, tanah menjadi agak licin. Maka gunakan sepatu tertutup yang proper, dan relakan jika nanti menjadi sedikit buruk rupa oleh sebab lumpur. Lupakan jaket unyu atau sweater tebal karena acara panjat memanjat itu cepat membuat kita gerah.









Dan tibalah kita di saat yang berbahagia. Rumpun tumbuh-tumbuhan edelweiss mulai ternampak, Saudara Saudari! Sebenarnya dan sesungguhnya, jika suatu hari nanti saya berkesempatan kesana lagi, di tempat inilah saya ingin berlama-lama menghabiskan waktu. Entah karena masih cukup pagi atau karena waktu itu hari Senin, tempat itu cukup sepi, tak banyak orang-orang yang ada di sana. Maka ladang edelweiss yang luaaaas itu menjadi salah satu ciptaan sempurna oleh Tuhan yang pernah saya cicipi keindahannya. Rasanya pengen bawa tikar dan gelundungan di situ, piknik. Main monopoli. Foto-foto. Tidur siang. 














Setelah dirasa dipaksa   telah cukup menikmati Tegal Alun, kami pun bergegas turun. Targetnya, jam 10 sudah sampai di Camp Saladah, kemudian masak-makan-mandi. Yang kemudian saya ketahui belakangan adalah, kita harus mengestimasti waktu yang tepat untuk kembali turun ke Garut. Mengapa? Karena bus Primajasa terakhir dari Terminal Guntur ke Jakarta Cililitan sekitar jam 5-jam 6 sore. Jadi mohon untuk tertib dan tidak banyak terlena berleha-leha karena perjalanan masih panjang, Jendral!



Seperti biasa, perjalanan pulang terasa lebih cepat dari perjalanan berangkat. Kami memilih untuk turun dari area Hutan Mati. Di pinggir tempat kami berfoto area "Rawan Longsor" tersebut ada anak tangga yang cukup...... curam. Harap berhati-hati karena di situlah ujian. Bebatuan dan kerikil harus mampu kita kuasai supaya tidak terpeleset. Tapi tetap saja, beberapa kali di antara kami ada yang terpeleset manja akibat kelalaian dalam memilih batu pijakan yang kuat. Maka, pilihlah pondasi yang kuat supaya perjalanan yang dilewati pun menjadi semakin mantap. Asaelah....


Perjalanan di bawah adalah perjalanan pulang yang diabadikan dalam gambar.
See you later, Papandayan!



Jalan Setapak





Seorang penduduk setempat melintas dengan kuda besinya.



Sungai Belerang. Hangat.



Toilet




Ditulis di Jakarta, 25 Januari 2017

No comments:

Post a Comment

Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger