Thursday 28 July 2016

Hidup adalah Buah dari Pilihan-Pilihan







The Day Before 25 ;
Hidup adalah Buah dari Pilihan-Pilihan

Waktu masih SMP, saya membayangkan jika nanti usia saya 24 tahun itu rasanya pasti bakal sudah dewasa banget. Masih dalam bayangan saya, usia 24 nanti itu pasti saya sudah tidak cengeng lagi, sudah mandiri dalam segala hal, sudah mantap memilih karir, sudah bisa beli ini itu sendiri, dan..... sudah menikah! Hahaha.
Tapi seiring berjalannya waktu dan hari ini saya telah sampai di usia 24 tahun lewat sedikit, ternyata saya masih merasa seperti yang kemarin-kemarin saja. Masih mudah tergoncang emosinya, masih sering merepotkan orang lain, masih mikir-mikir dalam berkarir, masih harus berjuang hemat-hemat demi membeli barang yang diinginkan, dan.......belum menikah! Hahahahahahhahahaha.
Menengok ke belakang, hidup ini begitu variatif. Jatuh bangun, naik turun, babak belur, dan berbagai perkembangan perasaan lainnya telah saya alami hingga membentuk saya menjadi seperti hari ini. Sampai akhirnya saya menemukan satu nilai hidup; hidup memang harus direncanakan, tapi rencana melenceng sedikit itu oke oke saja karena Allah tahu kejutan terbaik untuk manusia. Jika kemarin saya masih jadi orang yang terlalu ‘saklek’ dan mudah merasa kecewa terhadap putusan Allah, maka semakin kesini saya sadar bahwa everything happens for a reason.
Lemah di pelajaran eksak dan itung-itungan adalah telah saya sadari sebagai kekurangan saya sejak kelas lima SD. Nilai mencongak saya kalau tidak empat ya maksimal tujuh. Gitu-gitu aja terus. Berlanjut sampai di bangku SMA, masuklah saya di jurusan IPS karena nilainya tidak mampu menembus persaingan masuk IPA. Tetapi, kok lagi-lagi saya ditemukan dengan pelajaran Akuntansi yang notabene isinya hitung-hitungan semua! Sampai akhirnya pernah saya lontarkan kalimat “Udah ah, aku nggak mau lagi belajar Akuntansi! Aku nggak akan daftar kuliah jurusan Akuntansi!”
Namun takdir Tuhan berkata lain. Saya kembali dipertemukan dengan hal yang tidak saya sukai itu dan bahkan harus mendalaminya. Keputusan aneh ini berawal dari celetukan Ibu saya supaya saya mencoba memasukkan jurusan Akuntansi sebagai pilihan pertama dalam ujian masuk kuliah. Saya sih dengan pede dan haqqul yaqin menuruti saran Ibu saya, karena dalam hati saya berkata “Biarin aja, nyenengin orang tua, wong kayaknya saya nggak mungkin lolos juga”. Lumayan surprise dan tergagap-gagap saat mengetahui bahwa saya harus bertanggungjawab atas pilihan itu. Habislah tujuh semester itu saya bersusah payah memahami materi-materi kuliah yang rasanya lebih sulit dipahami dari perasaan saya sendiri.
Saat memasuki semester akhir kuliah, saya menyadari bahwa kebebasan minim tanggung jawab tinggal sebentar lagi. Artinya, saya sudah harus atur strategi menjelang berakhirnya masa belajar di universitas. Dengan berjanji pada diri sendiri, bahwa selepas wisuda harus sudah bisa hidup dengan biaya sendiri. Terdengar materalistis ya, tapi bagi saya itulah bentuk tanggung jawab pertama yang bisa saya baktikan terhadap orang tua sebagai rasa terima kasih atas jerih payah mereka selama ini. Rasanya begitu campur aduk dan harap-harap cemas menanti hasil dari setiap selesai mengikuti rekruitmen. Syukurlah saat itu masih ada jeda tiga bulan sejak lulus ujian skripsi menuju wisuda.
Penantian saya terjawab, tapi dalam keadaan yang sungguh tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya menerima telepon bahwa saya diterima bekerja di sebuah perusahaan yang ada di Jakarta di........ rumah sakit! Iya, saya menerima kabar gembira itu di rumah sakit! Waktu itu Ibu saya dirawat satu minggu karena harus operasi atas tulangnya yang retak, terpeleset di masjid selepas subuh. Saya tidak bisa menjawab offering saat itu juga.
Saya menerima telepon di balkon rumah sakit. Beberapa menit setelah saya mencerna kabar apa yang baru saja saya terima, saya kembali masuk ke kamar di mana Ibu saya dirawat. Diam saja dan tidak membahas apapun yang berkaitan dengan seleksi. Namun ternyata Ibu memang selalu tahu apa yang dirasakan anaknya tanpa anaknya harus bicara. Pada saat itu juga Ibu saya menanyakan kabar seleksi-seleksi yang pernah saya ikuti. Dengan penuh haru, kami pun berpelukan selepas saya menceritakan bahwa lima menit yang lalu saya lolos seleksi dan diterima kerja di Jakarta.
Saat itulah saya sadar bahwa saya kembali harus membuat pilihan besar dalam hidup; apakah saya akan menerima tawaran ini dan berangkat ke Jakarta dua hari setelah wisuda atau tetap stay di Jogja dan mencari pekerjaan lain hingga Ibu saya sembuh? Saat itulah saya merasakan betul apa artinya keluarga. Niatan saya untuk menolak offering disanggah oleh kakak, Ibu, tante, dan om saya. Mereka memberi pandangan bahwa Ibu saya akan sembuh sebulan dua bulan lagi, tapi kesempatan saya tidak datang dua kali. Dan pada akhirnya saya memilih apa yang dipilihkan oleh keluarga saya,  karena saya yakin itu adalah yang terbaik.
Lebih dari satu tahun telah saya nikmati ibukota Indonesia. Kembali teringat bahwa saya berada di Jakarta ini juga ada ceritanya, yaitu salah satunya karena kena karma atas omongan saya sendiri. Di tahun 2013-2014, ketika teman sebaya sudah merencanakan mimpi akan bekerja di Jakarta, saya adalah orang yang paling tidak tertarik dengan Jakarta dan malas dengan bayangan kemacetan-kemacetan di sini. “Saya sih mau mau saja kerja di luar Jogja, yang penting jangan di Jakarta! Saya nggak mau kerja di Jakarta, bayangin macetnya aja udah capek!”. Tapi di sinilah aku di sini sekarang.
Sungguh malu sama Allah karena banyak kalimat-kalimat saya yang telah terucap namun  mendahului kehendak-Nya. Dan yang bikin lebih malu, kalimat itu akhirnya justru berbalik ke diri saya sendiri, dan justru saya mendapat berkah dan rezeki dari hal yang awalnya saya benci itu. Itulah mengapa kita tidak boleh terlalu mencintai atau membenci sesuatu, karena yang kita cintai bisa jadi tidak baik untuk kita, namun yang kita benci justru yang terbaik untuk kita.
Dan kini tibalah pada saat untuk memilih hal besar bagi saya yang akan berlaku seumur hidup. Yakni memilih pendamping hidup. Pendamping hidup yang bisa menjadi imam, sekaligus teman, orang tua, kakak, adik, saudara, mentor, dan partner dalam segala hal. Dari sekian pilihan besar dalam hidup, bagi saya memilih pendamping adalah yang paling rumit dan penuh dengan berjuta pertimbangan. Perjuangan untuk mencapai ke sana pun masih samar-samar kapan akan menemui hasilnya. Namun apapun itu, saya yakin bahwa semua akan indah pada waktunya.


Banyak cerita di perjalanan saya dalam menentukan ‘pilihan terakhir’ ini, yang  membuat mata saya semakin terbuka lebar. Bahwa persiapan menjalani bahtera rumah tangga bukan hanya mengenai persiapan materi, namun juga kesiapan mental, kedewasaan diri, juga kematangan dalam berpikir. Bagaimana dan siapakah nanti yang menjadi jodoh saya, saya akan menuliskannya kembali di lain cerita. Yang penting jangan terlalu membenci sesuatu, dan jangan terlalu mencintai sesuatu! Hahahaha. Tunggu kisah saya selanjutnya ya.

                                                                                                          Jakarta, 27 Juli 2016
Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger