Sunday 4 June 2017

9 Jam Pendakian Heroik Gunung Cikuray (Belum Puncak) - 1 of 2

Preambul
Piknik kali ini disponsori oleh rasa nekad yang tak terbendung dengan diiringi doa tak henti-henti. Berawal dari ditutupnya Gunung Gede dan Gunung Ciremai, tujuan piknik diubah secara dinamis ke Gunung Cikuray. Dan ternyata benar, Cikuray memang luar biasa. Bagi saya yg baru sekali piknik ke gunung ini, apalagi waktu itu cuma Papandayan, track di Cikuray ini sungguh..... way too far yet challenging. Bisa kembali ke Jakarta adalah sebuah anugerah luar biasa dan tak ternilai dari Tuhan Yang Maha Esa.

Terlebih, perjalanan dilakukan di 18-19 Februari 2017, masa dimana cuaca sedang tidak bisa diprediksi. Curah hujan sedang tinggi-tingginya, dan sering ada berita mengenai pendaki-pendaki tersesat atau mengalami kejadian tidak diharapapkan. Jakarta hampir setiap hari diguyur hujan super deras. Beberapa teman kantor (dan bahkan anggota paguyuban ini) mulai meragukan jadi atau tidaknya perjalanan dilaksanakan. Berbekal pantauan cuaca dari aplikasi di ponsel yang menunjukkan bahwa pada 18 dan 19 Februari cuaca di Cikuray akan cerah sedikit berawan, dan Gunung Cikuray masih dibuka, kami membulatkan tekad untuk berangkat.

Sekilas membaca review para pendaki cantik dan tampan, memang menceritakan betapa ganasnya Cikuray; tidak adanya pemandangan, sering hujan, tidak ada air, mistis, tidak ada warung, tidak ada sinyal. Yaiyalah. Entahlah, beberapa di antara kami (lengkap ada 7 personel), berpikir Cikuray ini paling juga tidak jauh seperti Papandayan, ya kakak adik lah. Trek kejamnya ya mungkin tiga empat titik saja. Beberapanya lagi....mungkin tidak berpikiran apa-apa, tinggal ikut saja.

Komposisi Anggota Piknik
Personil piknik kali ini cukup unik, yakni 4 wanita dan 3 pria. Dengan karakteristik sebagai berikut:
1 pria yang sudah beberapa kali naik gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, tapi itu terjadi lima tahun silam dan sekarang fisiknya sudah tak sekekar dulu. Sebut saja Fajar.
1 pria yang dua kali naik gunung Papandayan, Gede (tapi tak sampai puncak), dan Slamet. Sebut saja Bungaran.
1 pria yang baru naik Kawah Ijen dan Papandayan. Sebut saja Maul.
1 wanita yang pernah ke gunung di Jawa Barat tapi itu juga terjadi beberapa tahun silam. Sebut saja Arum.
1 wanita yang pernah ke Ijen dan Papandayan. Sebut saja Amalia.
1 wanita yang baru sekali naik ke Papandayan. Sebut saja saya.
1 wanita yang belum pernah naik gunung sama sekali. Sebut saja Ervina.
Usaha kami dalam membentuk mental dan fisik dan mendukung yakni melakukan olahraga bersama secara rutin. Yakni, bulutangkis seminggu sekali! Hahahahahahahahahahaha rajin sekali bukan.

Itinerary
Jumat, 17 Februari 2017
Kami janjian secara sadar untuk bertemu di pool Primajasa Cililitan pukul 21:00, karena berencana mengambil keberangkatan bus ke Garut paling akhir, jam 22:30. Tapi apalah daya, ada seorang rekan yang jam 19:30 pun masih tertahan di kantor karena masih dalam suasana closing, padahal dia belum packing sama sekali. Ada lagi yang lain yang masih cari makan lah, dsb, dsb. Bungaran yang sudah duluan sampai di pool gusar abis karena bus terakhir sudah terisi beberapa orang dan kami belum ada yang datang. Bahkan pukul 21:30 terpantau kami masih kena macet di jembatan Kalibata yang budiman. Namun syukurlah kurang lebih pukul 22:00 lebih sedikit, semua personil sudah berkumpul. Setelah baku hantam dengan penumpang yang lain, kami mendapat kursi yang berdekatan. Entah mengapa malam itu bus lebih penuh dari perjalanan ke Papandayan sebelumnya. Bahkan ada mas-mas yang rela berdiri di lorong bus. Perjalanan terasa kurang nyaman karena saya duduk di bus yang kursinya berjejer 3 orang. Sempit bu.

Sabtu, 18 Februari 2017
Pukul 01:00
Bus berhenti sejenak di...... Lembang!!!! Alamak. Ternyata bus kami memutar ke Bandung dulu. Berhenti di sebuah warung ayam goreng yang keliatannya hmmmm. Enak. Perjalanan yang tadinya diestimasikan jam 01.30 sudah sampai Terminal Guntur menjadi lari dari jadwal. Jalanan sangat macet karena ada jembatan Cianjur-Bandung yang putus karena banjir beberapa hari terakhir. Ya sudahlah kami pasrah saja, hitung-hitung sambil meluruskan persendian.

Pukul 04.30
Terdengar mas-mas kondektur mengetok-ngetok pintu bus. Beberapa mas-mas pendaki mulai menuruni bus. Dan beberapa bapak-bapak dari luar bus menawarkan tumpangannya ke berbagai gunung.
“Yok, Cikuray, Cikuray, Cikuray.”
Setelah beberapa dari kami sholat subuh, membeli persediaan air di warung, dan selfie, kami menaiki bak mobil terbuka itu. Disepakati harganya 350ribu per perjalanan sampai ke pos pemancar, bukan hanya sampai kebun teh. Karena setelah membaca banyak ulasan, beberapa pendaki hanya diturunkan sampai di kebun teh dan harus berjalan lagi sampai ke pos pemancar padahal jalannya masih sangat jauh dan lumayan.
Blur. 5 of 8

Atas instruksi dari mas supir, kami membeli sarapan di sebuah warung yang ditunjukkan oleh mas supir. Dengan berbagai pertimbangan, per orang dari kami membeli sebungkus nasi untuk sarapan dan sebungkus lagi untuk makan siang. Menu yang ada di warung itu variatif sekali loh, dan terjangkau. Setelah membeli nasi bungkus, perjalanan diteruskan. Kami menyantap sarapan di sebuah pondokan dengan pemandangan kebun teh yang terhampar. Syahdu.




Setelah dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan. Pemandangan sangat indah, dan udara sangat sejuk. Semangat masih penuh. Suara gelak tawa masih konstan terdengar. Sampai akhirnya sampailah kita di pemberhentian kendaraan terakhir, pos pemancar. Di pos pemancar masih ada beberapa warung yang menjajakan gorengan, indomie, shampoo, kopi, dan stuffs penting lainnya.

Dari pemberhentian mobil bak terbuka nampaklah kebun teh yang melamai-lambai untuk didaki. Jantung mulai berdegup seiring punggung ini mulai menyamankan diri dengan carrier kapasitas 30+5L ini.  2 botol air mineral 1.5L penuh, ransum sarapan dan makan siang, matras, baju ganti, mantel, saling berbagi ruang di dalam tas pinjaman ini. Tak lupa menyelipkan madu dan soyjoy, yang katanya berfungsi mengenyangkan sejenak saat perut tiba-tiba terasa lapar nanti. Perjalanan pun dimulai dengan berdoa bersama, menurut keyakinan masing-masing. Berdoa, mulai.....



Pukul 08.30
Percayalah, baru beberapa ratus meter menaiki anak tangga di kebun teh itu, rasanya nyali ini menciut betul. Lelah. Belum lagi cacing-cacing gunung dan lintah yang mulai keluar sebab musim hujan sedang berlangsung. Setidaknya, pemandangan masih indah untuk dilihat. Saya pun masih bersemangat mengambil gambar di sekitar, mengabadikan pose teman-teman, atau... minta tolong teman untuk mengabadikan gambar saya.

Setelah melaporkan data diri di pos pertama yang kita temui, serta membayar beberapa puluh ribu rupiah di loket, kami kembali meneruskan perjalanan. Belum ada setengah jam berjalan, kami dibuat ternganga dengan undakan-undakan yang melihat ujungnya saja kepala kita harus benar-benar mendongak. Jadilah apa yang terjadi. Kita beristirahat beberapa kali. Beberapa kali. Lelah yang teramat sangat. Oiya bagi teman-teman yang muslim, di sepanjang jalan Cikuray ini, saya melihat beberapa papan tulisan arab, ada yang bertuliskan salam, syahadat, istighfar, dsb. Tujuannya tentu mengingatkan teman-teman untuk tetap mengingat Tuhan selama di perjalanan ya.




Salah satu tulisan arab berlafal syahadat di batang pohon

Surprise

Pukul 09.44
Masih bergulat di undakan, mencari pos 2 yang kami kira akan dekat seperti pos satu dengan yang lainnya di Papandayan. Rasanya sudah jauh dan lelah sekali melangkahkan kaki, tapi yang bikin sedih yaitu masih terdengarnya suara motor dan musik berdentum-dentum, yang menunjukkan bahwa kita masih dekat dengan pemukiman. Oh so sad...

Pukul 10.30
Kami mulai memasuki hutan belantara. Hanya ada jalan setapak yang diapit pepohonan besar. Pepohonan yang rimbun. Pepohonan  yang akarnya mencuat keluar. Tak terhitung berapa kali kami berhenti beristirahat. Dopping dengan air mineral, madu, mulai terjadi. Dan jangan ditanyakan lagi sudah berapa kali terlontar kalimat “Ngapain sih kita di sini?!!”. Rasanya ingin pulang saat melihat tanjakan demi tanjakan yang mengharuskan kita berjibaku antara lutut dengan dagu. Really, really, undescribable feelings....

Saat itu kami berbarengan dengan beberapa rombongan lain. Tidak seperti Papandayan, perbandingan antara wanita dan pria di sini timpang sekali. Sangat jarang kami melihat mbak-mbak yang mendaki. Ada, tapi tidak banyak. Lumayan terobati lah ketakutan saya pribadi, bahwasanya ada juga orang lain yang sedang melakukan perjalanan ‘gila’.





Pukul 12.05 – Pos 2!
Telah sampailah kita di saat yang agak berbahagia. Memang benar bahwa selalu ada harapan di setiap keputus asaan. Akhirnya tulisan ‘pos 2’ itu terlihat juga oleh mata kami yang mulai berkunang ini. Tanpa babibu lagi, masing-masing di antara kami langsung mencari tempat paling nyaman untuk dikuasai. Kami sepakat untuk berhenti agak lama di sini. Karena belum terlalu lapar, kami memilih pisang untuk mengganjal perut. Di jam ini kami masih sedikit waras. Senyum senyum masih tersungging di bibir masing-masing anggota meskipun keringat bercucuran. Melihat waktu sudah masuk sholat zuhur, akhirnya sholat zuhur jamak ashar dilakukan di pos 2 beralaskan matras. Syahdu.

Laksana oase di padang pasir 

Di saat wajah masih mampu menyunggingkan senyum

Syahdu


Pukul 12.50
Perjalanan kembali dilanjutkan. Akar demi akar telah kita lalui dengan khidmat. Jika memanjat tidak memungkinkan, merangkak bisa dijadikan sebagai pilihan. Lagi-lagi yang kami lihat adalah pepohonan, pepohonan, dan pepohonan. Saat itulah kabut perlahan mulai turun menyusup. Badan yang penuh keringat ini terasa dingin sebab udara mulai terasa lembab. Perkiraan kami,  butuh waktu setengah jam atau satu jam sampai ke pos 3. Nyatanya tidak. Tanjakan demi tanjakan yang dilalui masih belum menunjukkan papan bertuliskan ‘pos 3’.

Pukul 15.00 – Pos 3!
Rasanya seperti halusinasi saat saya melihat papan tertancap tinggi di sebuah pohon. Menyadari bahwa mata saya minus, sata tak ingin memberi harapan kepada teman-teman di belakang bahwa pos 3 sudah terlihat kasat mata. Dengan mengerjap-ngerjap, akhirnya dengan nafas tersengal saya beritakan kabar gembira ini kepada rekan seperjuangan yang wajahnya sudah carut marut seperti habis tersapu badai. Lima setengah jam perjalanan sudah cukup menguras tenaga kita yang tak seberapa ini.

Pos 3 ini tidak terlalu luas, dan tidak banyak tempat landai untuk duduk dengan tenang apalagi saat banyak rombongan tiba di situ. Melihat undakan yang menjulang tinggi di depan membuat saya ingin menggelinding pulang saja rasanya. Menyadari bahwa hari mulai menuju senja, sedangkan kita baru menemukan pos 3 dari 7 pos yang ada, kami memutuskan untuk tidak terlalu lama berleha-leha.


Pos 3

Mencoba tegar


Pukul 15.27
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kabut semakin tebal turun, dan yang kita khawatirkan hanyalah hujan yang jika nanti tiba-tiba turun. Geluduk mulai berbunyi sekali dua kali. Dan mulailah hujan rintik-rintik turun, mantel kami pun menjadi ada fungsinya. Kekhawatiran-kekhawatiran semakin menumpuk saat hujan mulai deras. Asli. Mau putar balik sudah lebih dari setengah jalan, mau lanjut tapi rasanya sudah mau meledak.

Selepas dari pos 3 ini saya sudah tidak bisa mendokumentasikan dengan kamera lagi karena hujan turun dan saya sudah menjejalkan kamera sedalam-dalamnya ke ransel hijau yang penuh ini. Telapak kaki dan betis terasa mulai kaku-kaku, pegal-pegal, sekali dua kali kram, panas dalam, dan sebagainya. Kabar baiknya, dari pos 3 menuju ke pos 4, pos 5, dan pos 6 ini jaraknya sudah tidak sesadis dari jarak pos 1 ke pos 2 dan pos 2 ke pos 3 kok. Dan untungnya, hujan sudah tidak lagi turun.


Perjuangan kawan-kawankoe


Kabut


Pukul 17.30 – Pos 6!
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya atas izin-Nya lah kami telah tiba di pos yang diharap-harapkan. Karena sudah menipisnya tenaga (bahkan hampir defisit mungkin), kami pasrah saja untuk mendirikan tenda di sini, bukan di pos 6+ atau pos 7, atau di puncak. Kami mulai memilih memonopoli 2 kapling paling ujung, dan berbagi tugas. Para pria mendirikan tenda, dan para wanita mulai menggoreng nugget, membuat air hangat, menanak nasi (yang akhirnya gagal), dan hal remeh temeh lainnya.

Dingin di Gunung Cikuray sungguh menusuk, fellas. Dengan baju berlapis empat plus jaket dan kaos kaki serta sarung tangan, rasanya masih saja tangan ini tak senang menyentuh benda-benda yang menjadi dingin di sana. Dan terungkaplah fungsi matras yang kita gendong-gendong dari Jakarta ini. Ternyata sebagai alas tidur supaya tidak terlalu dingin saat badan kita menyentuh tanah ya. Hahahahaha.

Pukul 20.00
Kami sudah mulai masuk ke tenda masing-masing dan tak butuh waktu lama untuk terlelap karena badan rasanya sudah terlalu lunglai untuk diajak beraktivitas lagi. Demi summit besok pagi, kami janjian untuk bangun pukul 4 pagi. See you tomorrow, masyarakat!


Budget per orang (tahun 2017)
Bus Primajasa Cililitan (Jakarta Selatan) – Terminal Guntur      : Rp 52,000
Bak terbuka sejak turun bus sampai pos pemancar                      : Rp 50,000
Retribusi muncak dan menginap                                                  : lupa :(
Bak terbuka sejak dari pos pemancar ke Terminal Guntur           : Rp 50,000
Bus Primajasa Terminal Guntur – Kampung Rambutan              : Rp 52,000

Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger