Preambul
Piknik
kali ini disponsori oleh rasa nekad yang tak terbendung dengan diiringi doa tak
henti-henti. Berawal dari ditutupnya
Gunung Gede dan Gunung Ciremai, tujuan piknik diubah secara dinamis ke Gunung Cikuray.
Dan ternyata benar, Cikuray memang luar biasa. Bagi saya yg baru sekali piknik
ke gunung ini, apalagi waktu itu cuma Papandayan, track di Cikuray ini sungguh..... way too far yet challenging. Bisa kembali ke Jakarta adalah sebuah
anugerah luar biasa dan tak ternilai dari Tuhan Yang Maha Esa.
Terlebih, perjalanan dilakukan di 18-19 Februari
2017, masa
dimana cuaca sedang tidak bisa diprediksi. Curah hujan sedang tinggi-tingginya,
dan sering ada berita mengenai pendaki-pendaki tersesat atau mengalami kejadian
tidak diharapapkan. Jakarta hampir
setiap hari diguyur hujan super deras. Beberapa teman kantor (dan bahkan
anggota paguyuban ini) mulai meragukan jadi atau tidaknya perjalanan dilaksanakan.
Berbekal pantauan cuaca dari aplikasi di ponsel yang menunjukkan bahwa
pada 18 dan 19 Februari cuaca di Cikuray akan cerah sedikit berawan, dan Gunung Cikuray masih dibuka, kami membulatkan
tekad untuk berangkat.
Sekilas membaca review para pendaki cantik dan tampan, memang menceritakan betapa
ganasnya Cikuray; tidak adanya pemandangan, sering hujan, tidak ada air,
mistis, tidak ada warung, tidak ada sinyal. Yaiyalah. Entahlah, beberapa di antara
kami (lengkap ada 7 personel), berpikir Cikuray ini paling juga tidak jauh seperti Papandayan, ya kakak adik lah. Trek
kejamnya ya mungkin tiga empat titik saja. Beberapanya lagi....mungkin tidak
berpikiran apa-apa, tinggal ikut saja.
Komposisi Anggota
Piknik
Personil
piknik kali ini cukup unik, yakni 4 wanita dan 3 pria. Dengan karakteristik
sebagai berikut:
1
pria yang sudah beberapa kali naik gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, tapi itu
terjadi lima tahun silam dan sekarang fisiknya sudah tak sekekar dulu. Sebut saja
Fajar.
1
pria yang dua kali naik gunung Papandayan, Gede (tapi tak sampai puncak), dan Slamet.
Sebut saja Bungaran.
1
pria yang baru naik Kawah Ijen dan Papandayan. Sebut saja Maul.
1
wanita yang pernah ke gunung di Jawa Barat tapi itu juga terjadi beberapa tahun
silam. Sebut saja Arum.
1
wanita yang pernah ke Ijen dan Papandayan. Sebut saja Amalia.
1
wanita yang baru sekali naik ke Papandayan. Sebut saja saya.
1
wanita yang belum pernah naik gunung sama sekali. Sebut saja Ervina.
Usaha
kami dalam membentuk mental dan fisik dan mendukung yakni melakukan olahraga
bersama secara rutin. Yakni, bulutangkis seminggu sekali!
Hahahahahahahahahahaha rajin sekali bukan.
Itinerary
Jumat,
17 Februari 2017
Kami
janjian secara sadar untuk bertemu di pool
Primajasa Cililitan pukul 21:00, karena berencana mengambil keberangkatan bus ke
Garut paling akhir, jam 22:30. Tapi apalah daya, ada seorang rekan yang jam
19:30 pun masih tertahan di kantor karena masih dalam suasana closing, padahal
dia belum packing sama sekali. Ada lagi yang lain yang masih cari makan lah,
dsb, dsb. Bungaran yang sudah duluan sampai di pool gusar abis karena
bus terakhir sudah terisi beberapa orang dan kami belum ada yang datang. Bahkan
pukul 21:30 terpantau kami masih kena macet di jembatan Kalibata yang budiman. Namun
syukurlah kurang lebih pukul 22:00 lebih sedikit, semua personil sudah
berkumpul. Setelah baku hantam dengan penumpang yang lain, kami mendapat kursi
yang berdekatan. Entah mengapa malam itu bus lebih penuh dari perjalanan ke Papandayan
sebelumnya. Bahkan ada mas-mas yang rela berdiri di lorong bus. Perjalanan terasa
kurang nyaman karena saya duduk di bus yang kursinya berjejer 3 orang. Sempit bu.
Sabtu,
18 Februari 2017
Pukul
01:00
Bus
berhenti sejenak di...... Lembang!!!! Alamak. Ternyata bus kami memutar ke
Bandung dulu. Berhenti di sebuah warung ayam goreng yang keliatannya hmmmm.
Enak. Perjalanan yang tadinya diestimasikan jam 01.30 sudah sampai Terminal Guntur
menjadi lari dari jadwal. Jalanan sangat macet karena ada jembatan Cianjur-Bandung
yang putus karena banjir beberapa hari terakhir. Ya sudahlah kami pasrah saja,
hitung-hitung sambil meluruskan persendian.
Pukul
04.30
Terdengar
mas-mas kondektur mengetok-ngetok pintu bus. Beberapa mas-mas pendaki mulai
menuruni bus. Dan beberapa bapak-bapak dari luar bus menawarkan tumpangannya ke
berbagai gunung.
“Yok,
Cikuray, Cikuray, Cikuray.”
Setelah
beberapa dari kami sholat subuh, membeli persediaan air di warung, dan selfie, kami menaiki bak mobil terbuka
itu. Disepakati harganya 350ribu per perjalanan sampai ke pos pemancar, bukan
hanya sampai kebun teh. Karena setelah membaca banyak ulasan, beberapa pendaki
hanya diturunkan sampai di kebun teh dan harus berjalan lagi sampai ke pos
pemancar padahal jalannya masih sangat jauh dan lumayan.
Blur. 5 of 8
Atas
instruksi dari mas supir, kami membeli sarapan di sebuah warung yang
ditunjukkan oleh mas supir. Dengan berbagai pertimbangan, per orang dari kami
membeli sebungkus nasi untuk sarapan dan sebungkus lagi untuk makan siang. Menu
yang ada di warung itu variatif sekali loh, dan terjangkau. Setelah membeli
nasi bungkus, perjalanan diteruskan. Kami menyantap sarapan di sebuah pondokan
dengan pemandangan kebun teh yang terhampar. Syahdu.
Setelah
dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan. Pemandangan sangat indah, dan udara
sangat sejuk. Semangat masih penuh. Suara gelak tawa masih konstan terdengar. Sampai
akhirnya sampailah kita di pemberhentian kendaraan terakhir, pos pemancar. Di pos
pemancar masih ada beberapa warung yang menjajakan gorengan, indomie, shampoo,
kopi, dan stuffs penting lainnya.
Dari
pemberhentian mobil bak terbuka nampaklah kebun teh yang melamai-lambai untuk
didaki. Jantung mulai berdegup seiring punggung ini mulai menyamankan diri
dengan carrier kapasitas 30+5L
ini. 2 botol air mineral 1.5L penuh,
ransum sarapan dan makan siang, matras, baju ganti, mantel, saling berbagi
ruang di dalam tas pinjaman ini. Tak lupa menyelipkan madu dan soyjoy, yang katanya berfungsi
mengenyangkan sejenak saat perut tiba-tiba terasa lapar nanti. Perjalanan pun
dimulai dengan berdoa bersama, menurut keyakinan masing-masing. Berdoa,
mulai.....
Pukul
08.30
Percayalah,
baru beberapa ratus meter menaiki anak tangga di kebun teh itu, rasanya nyali
ini menciut betul. Lelah. Belum lagi cacing-cacing gunung dan lintah yang mulai
keluar sebab musim hujan sedang berlangsung. Setidaknya, pemandangan masih
indah untuk dilihat. Saya pun masih bersemangat mengambil gambar di sekitar,
mengabadikan pose teman-teman, atau... minta tolong teman untuk mengabadikan
gambar saya.
Setelah
melaporkan data diri di pos pertama yang kita temui, serta membayar beberapa
puluh ribu rupiah di loket, kami kembali meneruskan perjalanan. Belum ada
setengah jam berjalan, kami dibuat ternganga dengan undakan-undakan yang
melihat ujungnya saja kepala kita harus benar-benar mendongak. Jadilah apa yang
terjadi. Kita beristirahat beberapa kali. Beberapa kali. Lelah yang teramat
sangat. Oiya bagi teman-teman yang muslim, di sepanjang jalan Cikuray ini, saya
melihat beberapa papan tulisan arab, ada yang bertuliskan salam, syahadat, istighfar,
dsb. Tujuannya tentu mengingatkan teman-teman untuk tetap mengingat Tuhan selama
di perjalanan ya.
Salah satu tulisan arab berlafal syahadat di batang pohon
Surprise
Pukul
09.44
Masih
bergulat di undakan, mencari pos 2 yang kami kira akan dekat seperti pos satu
dengan yang lainnya di Papandayan. Rasanya sudah jauh dan lelah sekali
melangkahkan kaki, tapi yang bikin sedih
yaitu masih terdengarnya suara motor dan musik berdentum-dentum, yang
menunjukkan bahwa kita masih dekat dengan pemukiman. Oh so sad...
Pukul
10.30
Kami
mulai memasuki hutan belantara. Hanya ada jalan setapak yang diapit pepohonan
besar. Pepohonan yang rimbun. Pepohonan yang akarnya mencuat keluar. Tak terhitung
berapa kali kami berhenti beristirahat. Dopping
dengan air mineral, madu, mulai terjadi. Dan jangan ditanyakan lagi sudah
berapa kali terlontar kalimat “Ngapain sih kita di sini?!!”. Rasanya ingin
pulang saat melihat tanjakan demi tanjakan yang mengharuskan kita berjibaku
antara lutut dengan dagu. Really, really,
undescribable feelings....
Saat
itu kami berbarengan dengan beberapa rombongan lain. Tidak seperti Papandayan,
perbandingan antara wanita dan pria di sini timpang sekali. Sangat jarang kami
melihat mbak-mbak yang mendaki. Ada,
tapi tidak banyak. Lumayan terobati lah ketakutan saya pribadi, bahwasanya ada
juga orang lain yang sedang melakukan perjalanan ‘gila’.
Pukul
12.05 – Pos 2!
Telah
sampailah kita di saat yang agak berbahagia. Memang benar bahwa selalu ada
harapan di setiap keputus asaan. Akhirnya tulisan ‘pos 2’ itu terlihat juga
oleh mata kami yang mulai berkunang ini. Tanpa babibu lagi, masing-masing di
antara kami langsung mencari tempat paling nyaman untuk dikuasai. Kami sepakat
untuk berhenti agak lama di sini. Karena belum terlalu lapar, kami memilih
pisang untuk mengganjal perut. Di jam ini kami masih sedikit waras. Senyum senyum
masih tersungging di bibir masing-masing anggota meskipun keringat bercucuran. Melihat
waktu sudah masuk sholat zuhur, akhirnya sholat zuhur jamak ashar dilakukan di
pos 2 beralaskan matras. Syahdu.
Laksana oase di padang pasir
Di saat wajah masih mampu menyunggingkan senyum
Pukul 12.50
Perjalanan kembali dilanjutkan. Akar demi akar telah kita lalui dengan khidmat. Jika memanjat tidak memungkinkan, merangkak bisa dijadikan sebagai pilihan. Lagi-lagi yang kami lihat adalah pepohonan, pepohonan, dan pepohonan. Saat itulah kabut perlahan mulai turun menyusup. Badan yang penuh keringat ini terasa dingin sebab udara mulai terasa lembab. Perkiraan kami, butuh waktu setengah jam atau satu jam sampai ke pos 3. Nyatanya tidak. Tanjakan demi tanjakan yang dilalui masih belum menunjukkan papan bertuliskan ‘pos 3’.
Pukul
15.00 – Pos 3!
Rasanya
seperti halusinasi saat saya melihat papan tertancap tinggi di sebuah pohon. Menyadari
bahwa mata saya minus, sata tak ingin memberi harapan kepada teman-teman di
belakang bahwa pos 3 sudah terlihat kasat mata. Dengan mengerjap-ngerjap,
akhirnya dengan nafas tersengal saya beritakan kabar gembira ini kepada rekan
seperjuangan yang wajahnya sudah carut marut seperti habis tersapu badai. Lima setengah
jam perjalanan sudah cukup menguras tenaga kita yang tak seberapa ini.
Pos
3 ini tidak terlalu luas, dan tidak banyak tempat landai untuk duduk dengan
tenang apalagi saat banyak rombongan tiba di situ. Melihat undakan yang
menjulang tinggi di depan membuat saya ingin menggelinding pulang saja rasanya.
Menyadari bahwa hari mulai menuju senja, sedangkan kita baru menemukan pos 3
dari 7 pos yang ada, kami memutuskan untuk tidak terlalu lama berleha-leha.
Mencoba tegar |
Pukul
15.27
Perjalanan
kembali dilanjutkan. Kabut semakin tebal turun, dan yang kita khawatirkan
hanyalah hujan yang jika nanti tiba-tiba turun. Geluduk mulai berbunyi sekali
dua kali. Dan mulailah hujan rintik-rintik turun, mantel kami pun menjadi ada
fungsinya. Kekhawatiran-kekhawatiran semakin menumpuk saat hujan mulai deras. Asli.
Mau putar balik sudah lebih dari setengah jalan, mau lanjut tapi rasanya sudah
mau meledak.
Selepas
dari pos 3 ini saya sudah tidak bisa mendokumentasikan dengan kamera lagi
karena hujan turun dan saya sudah menjejalkan kamera sedalam-dalamnya ke ransel
hijau yang penuh ini. Telapak kaki dan betis terasa mulai kaku-kaku,
pegal-pegal, sekali dua kali kram, panas dalam, dan sebagainya. Kabar baiknya,
dari pos 3 menuju ke pos 4, pos 5, dan pos 6 ini jaraknya sudah tidak sesadis
dari jarak pos 1 ke pos 2 dan pos 2 ke pos 3 kok. Dan untungnya, hujan sudah
tidak lagi turun.
Perjuangan kawan-kawankoe |
Kabut |
Pukul
17.30 – Pos 6!
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya atas izin-Nya lah
kami telah tiba di pos yang diharap-harapkan. Karena sudah menipisnya tenaga (bahkan
hampir defisit mungkin), kami pasrah saja untuk mendirikan tenda di sini, bukan
di pos 6+ atau pos 7, atau di puncak. Kami mulai memilih memonopoli 2 kapling paling
ujung, dan berbagi tugas. Para pria mendirikan tenda, dan para wanita mulai
menggoreng nugget, membuat air
hangat, menanak nasi (yang akhirnya gagal), dan hal remeh temeh lainnya.
Dingin
di Gunung Cikuray sungguh menusuk, fellas.
Dengan baju berlapis empat plus jaket dan kaos kaki serta sarung tangan,
rasanya masih saja tangan ini tak senang menyentuh benda-benda yang menjadi
dingin di sana. Dan terungkaplah fungsi matras yang kita gendong-gendong dari
Jakarta ini. Ternyata sebagai alas tidur supaya tidak terlalu dingin saat badan
kita menyentuh tanah ya. Hahahahaha.
Pukul
20.00
Kami
sudah mulai masuk ke tenda masing-masing dan tak butuh waktu lama untuk
terlelap karena badan rasanya sudah terlalu lunglai untuk diajak beraktivitas
lagi. Demi summit besok pagi, kami
janjian untuk bangun pukul 4 pagi. See
you tomorrow, masyarakat!
Budget per orang
(tahun 2017)
Bus
Primajasa Cililitan (Jakarta Selatan) – Terminal Guntur : Rp 52,000
Bak
terbuka sejak turun bus sampai pos pemancar :
Rp 50,000
Retribusi
muncak dan menginap :
lupa :(
Bak
terbuka sejak dari pos pemancar ke Terminal Guntur : Rp 50,000
Bus
Primajasa Terminal Guntur – Kampung Rambutan : Rp 52,000
No comments:
Post a Comment