Summit Time, 04.30 am
Alarm dari masing-masing ponsel peserta mulai berdengking-dengking dari
pukul 04.00. Demi summit yang
sempurna, mau tidak mau kami membuka mata dan mulai bersiap. Membawa beberapa
cemilan dan botol air minum, sebelum menuju puncak kami memanjatkan doa bersama
terlebih dahulu bersama anggota yang lain. Kira-kira mulai pukul 04.30 lah kita
mulai menapaki rintangan-rintangan yang gelap tak terlihat. Oiya, jangan lupa membawa
headlamp atau senter! Namanya juga di
gunung, tidak mungkin ada lampu jalan.
Bagi saya, perjalanan menuju puncak cukup membuat ngos-ngos-an. Mungkin karena mesin belum
panas. Ya mungkin saja. Tapi ya apa mungkin karena lapar juga bisa. Atau karena
memang stamina yang terlalu letoy. Yang
jelas, jarak tempuh kira-kira hampir 1 jam. Padahal seharusnya untuk anak muda
yang masih lincah hanya butuh 20 menit. Tidak banyak yang saya ingat, karena
jalanan masih gelap. Namun di tengah perjalanan memang beberapa kali kami
sempat berhenti untuk sekedar makan soyjoy
atau mencuri-curi nafas.
Lambat laun, ranting-ranting pohon rimbun yang menaungi kami mulai
tersibak. Dan harapan itu muncul berwujud warna langit yang berwarna jingga
keunguan. Nampak perlahan-lahan. Sekitar pukul 5.45 tibalah kami di puncak
2812mdpl. Hening.
Terlalu indah untuk dideskripsikan. Mata ini dimanjakan dengan gulungan
awan tebal berlapis yang terhampar begitu elok. Seperti berada di atas awan. Berpadu
dengan semburat matahari terbit, tiada yang ingin diucapkan selain rasa syukur.
Kontemplasi di Puncak
Gunung
Apa ya. Ya mungkin seperti inilah yang selalu dibilang orang-orang,
bahwa terseok seoknya di perjalanan itu akan lunas terbayar saat kita mendapat
bonus pemandangan di puncak sini. Tapi kemudian saya berpikir kembali, mengapa
pula orang-orang berpesan bahwa jangan jadikan puncak adalah tujuan? Setelah
lama terdiam, sepertinya pelan-pelan saya menemukan jawabannya.
Mungkin saat itu puncak gunung terasa begitu indah karena memang sejak
pertama kali kaki ini menapak keluar dari kos-kosan, saya tidak berekspektasi
apa-apa terhadap cantiknya puncak Gunung Cikuray. Perjalanan yang berat dan
minim pemandangan sudah saya ketahui infonya. Betul-betul saat itu memutuskan beramai-ramai
naik gunung murni karena memang mau berpetualang saja. Tidak hujan di
perjalanan saja sudah kami syukuri bukan main. Jadi memang tidak ada keinginan
yang muluk bahwa nanti akan mendapati keindahan di puncak. Tidak adanya
ekspektasi justru membawa saya menjadi sangat bersyukur ketika mendapatkan
sesuatu.
Di Puncak Ada Penjual
Tahu
Ya, di puncak Gunung Cikuray satu-satunya penjual yang exist adalah penjual tahu . Kami menyebutnya
tahu dingin. Karena memang tahunya dingin. Terlalu lama di puncak sepertinya. Hahahahah.
Sungguh tidak terbayang bagaimana cara abang-abang itu membawa gerobak pikulnya
naik ke atas. Sayang sekali lupa kefoto. Selain itu tidak ada lagi penjual
makanan di atas sana. Tidak ada penjual air, mi instan, deterjen, shampoo, dsb.
Juga tidak ada toilet umum. Jadi ya betul-betul harus siap logistic dari bawah.
Kondisi di puncak terdapat satu gardu, beberapa batang pohon, dan
sisanya tanah lapang (tidak terlalu lapang) yang terhampar. Ternyata cukup
banyak pendaki yang menggelar tenda bermalam di sini. Haduh, tak terbayangkan
bagaimana dinginnya di malam hari atau kalau-kalau ada angin besar sedang datang
bertandang.
wah alhamdulillah akhirnya nulis lagi setelah hampir setahun vakum :D
ReplyDelete