Sunday 4 June 2017

9 Jam Pendakian Heroik Gunung Cikuray (Belum Puncak) - 1 of 2

Preambul
Piknik kali ini disponsori oleh rasa nekad yang tak terbendung dengan diiringi doa tak henti-henti. Berawal dari ditutupnya Gunung Gede dan Gunung Ciremai, tujuan piknik diubah secara dinamis ke Gunung Cikuray. Dan ternyata benar, Cikuray memang luar biasa. Bagi saya yg baru sekali piknik ke gunung ini, apalagi waktu itu cuma Papandayan, track di Cikuray ini sungguh..... way too far yet challenging. Bisa kembali ke Jakarta adalah sebuah anugerah luar biasa dan tak ternilai dari Tuhan Yang Maha Esa.

Terlebih, perjalanan dilakukan di 18-19 Februari 2017, masa dimana cuaca sedang tidak bisa diprediksi. Curah hujan sedang tinggi-tingginya, dan sering ada berita mengenai pendaki-pendaki tersesat atau mengalami kejadian tidak diharapapkan. Jakarta hampir setiap hari diguyur hujan super deras. Beberapa teman kantor (dan bahkan anggota paguyuban ini) mulai meragukan jadi atau tidaknya perjalanan dilaksanakan. Berbekal pantauan cuaca dari aplikasi di ponsel yang menunjukkan bahwa pada 18 dan 19 Februari cuaca di Cikuray akan cerah sedikit berawan, dan Gunung Cikuray masih dibuka, kami membulatkan tekad untuk berangkat.

Sekilas membaca review para pendaki cantik dan tampan, memang menceritakan betapa ganasnya Cikuray; tidak adanya pemandangan, sering hujan, tidak ada air, mistis, tidak ada warung, tidak ada sinyal. Yaiyalah. Entahlah, beberapa di antara kami (lengkap ada 7 personel), berpikir Cikuray ini paling juga tidak jauh seperti Papandayan, ya kakak adik lah. Trek kejamnya ya mungkin tiga empat titik saja. Beberapanya lagi....mungkin tidak berpikiran apa-apa, tinggal ikut saja.

Komposisi Anggota Piknik
Personil piknik kali ini cukup unik, yakni 4 wanita dan 3 pria. Dengan karakteristik sebagai berikut:
1 pria yang sudah beberapa kali naik gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, tapi itu terjadi lima tahun silam dan sekarang fisiknya sudah tak sekekar dulu. Sebut saja Fajar.
1 pria yang dua kali naik gunung Papandayan, Gede (tapi tak sampai puncak), dan Slamet. Sebut saja Bungaran.
1 pria yang baru naik Kawah Ijen dan Papandayan. Sebut saja Maul.
1 wanita yang pernah ke gunung di Jawa Barat tapi itu juga terjadi beberapa tahun silam. Sebut saja Arum.
1 wanita yang pernah ke Ijen dan Papandayan. Sebut saja Amalia.
1 wanita yang baru sekali naik ke Papandayan. Sebut saja saya.
1 wanita yang belum pernah naik gunung sama sekali. Sebut saja Ervina.
Usaha kami dalam membentuk mental dan fisik dan mendukung yakni melakukan olahraga bersama secara rutin. Yakni, bulutangkis seminggu sekali! Hahahahahahahahahahaha rajin sekali bukan.

Itinerary
Jumat, 17 Februari 2017
Kami janjian secara sadar untuk bertemu di pool Primajasa Cililitan pukul 21:00, karena berencana mengambil keberangkatan bus ke Garut paling akhir, jam 22:30. Tapi apalah daya, ada seorang rekan yang jam 19:30 pun masih tertahan di kantor karena masih dalam suasana closing, padahal dia belum packing sama sekali. Ada lagi yang lain yang masih cari makan lah, dsb, dsb. Bungaran yang sudah duluan sampai di pool gusar abis karena bus terakhir sudah terisi beberapa orang dan kami belum ada yang datang. Bahkan pukul 21:30 terpantau kami masih kena macet di jembatan Kalibata yang budiman. Namun syukurlah kurang lebih pukul 22:00 lebih sedikit, semua personil sudah berkumpul. Setelah baku hantam dengan penumpang yang lain, kami mendapat kursi yang berdekatan. Entah mengapa malam itu bus lebih penuh dari perjalanan ke Papandayan sebelumnya. Bahkan ada mas-mas yang rela berdiri di lorong bus. Perjalanan terasa kurang nyaman karena saya duduk di bus yang kursinya berjejer 3 orang. Sempit bu.

Sabtu, 18 Februari 2017
Pukul 01:00
Bus berhenti sejenak di...... Lembang!!!! Alamak. Ternyata bus kami memutar ke Bandung dulu. Berhenti di sebuah warung ayam goreng yang keliatannya hmmmm. Enak. Perjalanan yang tadinya diestimasikan jam 01.30 sudah sampai Terminal Guntur menjadi lari dari jadwal. Jalanan sangat macet karena ada jembatan Cianjur-Bandung yang putus karena banjir beberapa hari terakhir. Ya sudahlah kami pasrah saja, hitung-hitung sambil meluruskan persendian.

Pukul 04.30
Terdengar mas-mas kondektur mengetok-ngetok pintu bus. Beberapa mas-mas pendaki mulai menuruni bus. Dan beberapa bapak-bapak dari luar bus menawarkan tumpangannya ke berbagai gunung.
“Yok, Cikuray, Cikuray, Cikuray.”
Setelah beberapa dari kami sholat subuh, membeli persediaan air di warung, dan selfie, kami menaiki bak mobil terbuka itu. Disepakati harganya 350ribu per perjalanan sampai ke pos pemancar, bukan hanya sampai kebun teh. Karena setelah membaca banyak ulasan, beberapa pendaki hanya diturunkan sampai di kebun teh dan harus berjalan lagi sampai ke pos pemancar padahal jalannya masih sangat jauh dan lumayan.
Blur. 5 of 8

Atas instruksi dari mas supir, kami membeli sarapan di sebuah warung yang ditunjukkan oleh mas supir. Dengan berbagai pertimbangan, per orang dari kami membeli sebungkus nasi untuk sarapan dan sebungkus lagi untuk makan siang. Menu yang ada di warung itu variatif sekali loh, dan terjangkau. Setelah membeli nasi bungkus, perjalanan diteruskan. Kami menyantap sarapan di sebuah pondokan dengan pemandangan kebun teh yang terhampar. Syahdu.




Setelah dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan. Pemandangan sangat indah, dan udara sangat sejuk. Semangat masih penuh. Suara gelak tawa masih konstan terdengar. Sampai akhirnya sampailah kita di pemberhentian kendaraan terakhir, pos pemancar. Di pos pemancar masih ada beberapa warung yang menjajakan gorengan, indomie, shampoo, kopi, dan stuffs penting lainnya.

Dari pemberhentian mobil bak terbuka nampaklah kebun teh yang melamai-lambai untuk didaki. Jantung mulai berdegup seiring punggung ini mulai menyamankan diri dengan carrier kapasitas 30+5L ini.  2 botol air mineral 1.5L penuh, ransum sarapan dan makan siang, matras, baju ganti, mantel, saling berbagi ruang di dalam tas pinjaman ini. Tak lupa menyelipkan madu dan soyjoy, yang katanya berfungsi mengenyangkan sejenak saat perut tiba-tiba terasa lapar nanti. Perjalanan pun dimulai dengan berdoa bersama, menurut keyakinan masing-masing. Berdoa, mulai.....



Pukul 08.30
Percayalah, baru beberapa ratus meter menaiki anak tangga di kebun teh itu, rasanya nyali ini menciut betul. Lelah. Belum lagi cacing-cacing gunung dan lintah yang mulai keluar sebab musim hujan sedang berlangsung. Setidaknya, pemandangan masih indah untuk dilihat. Saya pun masih bersemangat mengambil gambar di sekitar, mengabadikan pose teman-teman, atau... minta tolong teman untuk mengabadikan gambar saya.

Setelah melaporkan data diri di pos pertama yang kita temui, serta membayar beberapa puluh ribu rupiah di loket, kami kembali meneruskan perjalanan. Belum ada setengah jam berjalan, kami dibuat ternganga dengan undakan-undakan yang melihat ujungnya saja kepala kita harus benar-benar mendongak. Jadilah apa yang terjadi. Kita beristirahat beberapa kali. Beberapa kali. Lelah yang teramat sangat. Oiya bagi teman-teman yang muslim, di sepanjang jalan Cikuray ini, saya melihat beberapa papan tulisan arab, ada yang bertuliskan salam, syahadat, istighfar, dsb. Tujuannya tentu mengingatkan teman-teman untuk tetap mengingat Tuhan selama di perjalanan ya.




Salah satu tulisan arab berlafal syahadat di batang pohon

Surprise

Pukul 09.44
Masih bergulat di undakan, mencari pos 2 yang kami kira akan dekat seperti pos satu dengan yang lainnya di Papandayan. Rasanya sudah jauh dan lelah sekali melangkahkan kaki, tapi yang bikin sedih yaitu masih terdengarnya suara motor dan musik berdentum-dentum, yang menunjukkan bahwa kita masih dekat dengan pemukiman. Oh so sad...

Pukul 10.30
Kami mulai memasuki hutan belantara. Hanya ada jalan setapak yang diapit pepohonan besar. Pepohonan yang rimbun. Pepohonan  yang akarnya mencuat keluar. Tak terhitung berapa kali kami berhenti beristirahat. Dopping dengan air mineral, madu, mulai terjadi. Dan jangan ditanyakan lagi sudah berapa kali terlontar kalimat “Ngapain sih kita di sini?!!”. Rasanya ingin pulang saat melihat tanjakan demi tanjakan yang mengharuskan kita berjibaku antara lutut dengan dagu. Really, really, undescribable feelings....

Saat itu kami berbarengan dengan beberapa rombongan lain. Tidak seperti Papandayan, perbandingan antara wanita dan pria di sini timpang sekali. Sangat jarang kami melihat mbak-mbak yang mendaki. Ada, tapi tidak banyak. Lumayan terobati lah ketakutan saya pribadi, bahwasanya ada juga orang lain yang sedang melakukan perjalanan ‘gila’.





Pukul 12.05 – Pos 2!
Telah sampailah kita di saat yang agak berbahagia. Memang benar bahwa selalu ada harapan di setiap keputus asaan. Akhirnya tulisan ‘pos 2’ itu terlihat juga oleh mata kami yang mulai berkunang ini. Tanpa babibu lagi, masing-masing di antara kami langsung mencari tempat paling nyaman untuk dikuasai. Kami sepakat untuk berhenti agak lama di sini. Karena belum terlalu lapar, kami memilih pisang untuk mengganjal perut. Di jam ini kami masih sedikit waras. Senyum senyum masih tersungging di bibir masing-masing anggota meskipun keringat bercucuran. Melihat waktu sudah masuk sholat zuhur, akhirnya sholat zuhur jamak ashar dilakukan di pos 2 beralaskan matras. Syahdu.

Laksana oase di padang pasir 

Di saat wajah masih mampu menyunggingkan senyum

Syahdu


Pukul 12.50
Perjalanan kembali dilanjutkan. Akar demi akar telah kita lalui dengan khidmat. Jika memanjat tidak memungkinkan, merangkak bisa dijadikan sebagai pilihan. Lagi-lagi yang kami lihat adalah pepohonan, pepohonan, dan pepohonan. Saat itulah kabut perlahan mulai turun menyusup. Badan yang penuh keringat ini terasa dingin sebab udara mulai terasa lembab. Perkiraan kami,  butuh waktu setengah jam atau satu jam sampai ke pos 3. Nyatanya tidak. Tanjakan demi tanjakan yang dilalui masih belum menunjukkan papan bertuliskan ‘pos 3’.

Pukul 15.00 – Pos 3!
Rasanya seperti halusinasi saat saya melihat papan tertancap tinggi di sebuah pohon. Menyadari bahwa mata saya minus, sata tak ingin memberi harapan kepada teman-teman di belakang bahwa pos 3 sudah terlihat kasat mata. Dengan mengerjap-ngerjap, akhirnya dengan nafas tersengal saya beritakan kabar gembira ini kepada rekan seperjuangan yang wajahnya sudah carut marut seperti habis tersapu badai. Lima setengah jam perjalanan sudah cukup menguras tenaga kita yang tak seberapa ini.

Pos 3 ini tidak terlalu luas, dan tidak banyak tempat landai untuk duduk dengan tenang apalagi saat banyak rombongan tiba di situ. Melihat undakan yang menjulang tinggi di depan membuat saya ingin menggelinding pulang saja rasanya. Menyadari bahwa hari mulai menuju senja, sedangkan kita baru menemukan pos 3 dari 7 pos yang ada, kami memutuskan untuk tidak terlalu lama berleha-leha.


Pos 3

Mencoba tegar


Pukul 15.27
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kabut semakin tebal turun, dan yang kita khawatirkan hanyalah hujan yang jika nanti tiba-tiba turun. Geluduk mulai berbunyi sekali dua kali. Dan mulailah hujan rintik-rintik turun, mantel kami pun menjadi ada fungsinya. Kekhawatiran-kekhawatiran semakin menumpuk saat hujan mulai deras. Asli. Mau putar balik sudah lebih dari setengah jalan, mau lanjut tapi rasanya sudah mau meledak.

Selepas dari pos 3 ini saya sudah tidak bisa mendokumentasikan dengan kamera lagi karena hujan turun dan saya sudah menjejalkan kamera sedalam-dalamnya ke ransel hijau yang penuh ini. Telapak kaki dan betis terasa mulai kaku-kaku, pegal-pegal, sekali dua kali kram, panas dalam, dan sebagainya. Kabar baiknya, dari pos 3 menuju ke pos 4, pos 5, dan pos 6 ini jaraknya sudah tidak sesadis dari jarak pos 1 ke pos 2 dan pos 2 ke pos 3 kok. Dan untungnya, hujan sudah tidak lagi turun.


Perjuangan kawan-kawankoe


Kabut


Pukul 17.30 – Pos 6!
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya atas izin-Nya lah kami telah tiba di pos yang diharap-harapkan. Karena sudah menipisnya tenaga (bahkan hampir defisit mungkin), kami pasrah saja untuk mendirikan tenda di sini, bukan di pos 6+ atau pos 7, atau di puncak. Kami mulai memilih memonopoli 2 kapling paling ujung, dan berbagi tugas. Para pria mendirikan tenda, dan para wanita mulai menggoreng nugget, membuat air hangat, menanak nasi (yang akhirnya gagal), dan hal remeh temeh lainnya.

Dingin di Gunung Cikuray sungguh menusuk, fellas. Dengan baju berlapis empat plus jaket dan kaos kaki serta sarung tangan, rasanya masih saja tangan ini tak senang menyentuh benda-benda yang menjadi dingin di sana. Dan terungkaplah fungsi matras yang kita gendong-gendong dari Jakarta ini. Ternyata sebagai alas tidur supaya tidak terlalu dingin saat badan kita menyentuh tanah ya. Hahahahaha.

Pukul 20.00
Kami sudah mulai masuk ke tenda masing-masing dan tak butuh waktu lama untuk terlelap karena badan rasanya sudah terlalu lunglai untuk diajak beraktivitas lagi. Demi summit besok pagi, kami janjian untuk bangun pukul 4 pagi. See you tomorrow, masyarakat!


Budget per orang (tahun 2017)
Bus Primajasa Cililitan (Jakarta Selatan) – Terminal Guntur      : Rp 52,000
Bak terbuka sejak turun bus sampai pos pemancar                      : Rp 50,000
Retribusi muncak dan menginap                                                  : lupa :(
Bak terbuka sejak dari pos pemancar ke Terminal Guntur           : Rp 50,000
Bus Primajasa Terminal Guntur – Kampung Rambutan              : Rp 52,000

Thursday 26 January 2017

Nothing is Irreplaceable






No one is irreplaceable. I started my day by reading these four words in one line. My friend’s quote has tickled me a little bit. And drive me thinking in this whole day.

Once in awhile, we felt that something/someone is really fit and suitable for us. Whether it was our goal, dream, vission, mission, team, favorite thing, friend, partner, rival, leader, work mate, class mate, buddy, lover, or somebody/something else whatever you mention it. Feeling very comfortable when sharing some ideas with her/him, and just felt like “Oh My God, I never feel this pleasant feeling before. She/ He is really my other-half!”

But then, something has changed. Predictable or unpredictable, shortly, our ‘suitable thing’ becomes not suitable anymore. Our favorite part is not being special anymore. That ambititious goal turns and changes its direction. That finest partner slowly but sure has faded. Uncontrollably switch over with or without any logic reason.

Immediately, we see the gap from our closest person. Or we are the person who create the gap? In the end, our place can be exchanged with another person or thing. Vice versa, we can throw someone/something away from our life with no hesitation for some aims. Because we do know,  have a new one after a long lost is a possibility.

Replace or being replaced. Change or being changed. Forget or being forgotten. Chase or being chased. Hate or being hated. Love or being loved. Treat or being treated.

And how about when we are not ready to face it?
We just have to be ready any time. We just have to accept the alteration. We just have to let it be.
Just feel it, face it, and learn from it. Remember, everyone has their own time-laps. Being gentle with ourselves is a must and not negotiable. Then I understand : Somewhile we must learn to be a little bit selfish to survive.




Jakarta, 26 January 2017

Wednesday 25 January 2017

3 of 3 : Jelajah Hutan Mati dan Taman Edelweiss Papandayan

Setelah puas berkeluh kesah terkait terdengarnya suara babi hutan di pukul 04.00 pagi itu, kami kemudian bersiap mengawali hari. Air gunung di pagi buta menjadi lebih dingin dari di siang hari, sedingin air ditaruh botol kaca di kulkas. Dingin banget deh.

Hujan gerimis semalam masih menyisakan hawa menusuk sampai ke tulang. Kami berkemas untuk menyiapkan perbekalan dalam 1 tas yang akan dibawa bergantian (oleh teman-teman pria). Air mineral beberapa botol dan snack sebagai penunda rasa lapar nanti di atas. Atas saran seorang teman yang sudah beberapa kali naik gunung, membawa Soyjoy menjadi langkah tepat untuk penolong perut yang meronta minta diisi. Ampuh!

Tujuan pertama adalah area hutan mati sambil menyambut matahari pagi. Jarak antara area tenda dengan hutan mati cukup mudah dan bisa ditempuh dalam waktu 30-45 saja tergantung dari kecepatan berjalan. Memang sedikit boros napas, tapi bisa lah, pelan pelan saja. Tidak ada panjat memanjat untuk menuju hutan mati dari area Saladah Camp. Tapi kalau ditempuh langsung dari Basecamp David, sepertinya..... lumayan. Tenang saja, dari Basecamp David menuju hutan mati pun sudah ada anak-anak tangga kok.

Area hutan mati di pagi hari dengan background langit semburat biru putih menciptakan suasana yang begitu syahdu dan menggoda kita untuk berlama-lama tetap ada di sana. Terdapat sebuah favorite spot dengan latar Gunung Cikuray yang sangat leh uga untuk foto-foto. Tapi hati-hati ya foto di situ, area rawan longsor karena berbatu-batu. So jangan terlalu ke pinggir karena kerikil-kerikil di sana membuat kita bisa terpeleset. Rekomendasi saya, bersamalah dengan partner yang memang sama-sama doyan foto-foto, jadi semuanya happy dan tidak merasa bosan karena memang di area itu hanya terbentang batang pohon yang mati, bebatuan, dan pepohonan hijau di kejauhan. Hahahahah.



Syahdu.







(FYI, foto di bawah ini diambil dalam perjalanan pulang, sekitar pukul 13.00 siang. Dan hasilnya lebih cerah daripada foto saya di atas yang diambil pagi-pagi. Tapi ya gitu deh, siapkan sunblock demi potret yang sempurna. Panas banget!!)






Perjalanan selanjutnya adalah menuju Tegal Alun, padang edelweiss yang termahsyur itu! Atas instruksi dari salah satu teman kami, kami memilih jalur memotong, ditengarai lebih cepat sampai tapi perlu perjuangan yang juga lebih lagi. Tegal Alun yang ada di balik pepohonan hutan itu kami tempuh dari Hutan Mati, dengan tanpa ada rambu-rambu atau petunjuk arah. Semua murni bergantung pada ingatan salah satu teman kami yang pernah menuju ke sana. Satu kali. Iya, tapi kami percaya aja.




Perjalanan dari Hutan Mati ke Tegal Alun sekitar 1-1.5jam sepertinya. Agak-agak lupa. Dan medan yang dilalui benar-benar terjal. Meskipun beberapa kali kami bertemu Mba Mba yang memakai rok, namun sepertinya saya lebih rekomendasikan celana sebagai outfit-nya. 80% perjalanan ditempuh dengan panjat memanjat. Tapi entah mengapa, rasanya lebih melelahkan perjalanan dari Camp Saladah ke Hutan Mati daripada dari Hutan Mati ke Tegal Alun. Atau hanya perasaan saya saja ya...




Oh iya, yang perlu dicatat adalah, acara panjat memanjat itu didukung oleh akar-akar pohon yang kuat dan udara yang lembap. Apalagi jika malam sebelumnya hujan, tanah menjadi agak licin. Maka gunakan sepatu tertutup yang proper, dan relakan jika nanti menjadi sedikit buruk rupa oleh sebab lumpur. Lupakan jaket unyu atau sweater tebal karena acara panjat memanjat itu cepat membuat kita gerah.









Dan tibalah kita di saat yang berbahagia. Rumpun tumbuh-tumbuhan edelweiss mulai ternampak, Saudara Saudari! Sebenarnya dan sesungguhnya, jika suatu hari nanti saya berkesempatan kesana lagi, di tempat inilah saya ingin berlama-lama menghabiskan waktu. Entah karena masih cukup pagi atau karena waktu itu hari Senin, tempat itu cukup sepi, tak banyak orang-orang yang ada di sana. Maka ladang edelweiss yang luaaaas itu menjadi salah satu ciptaan sempurna oleh Tuhan yang pernah saya cicipi keindahannya. Rasanya pengen bawa tikar dan gelundungan di situ, piknik. Main monopoli. Foto-foto. Tidur siang. 














Setelah dirasa dipaksa   telah cukup menikmati Tegal Alun, kami pun bergegas turun. Targetnya, jam 10 sudah sampai di Camp Saladah, kemudian masak-makan-mandi. Yang kemudian saya ketahui belakangan adalah, kita harus mengestimasti waktu yang tepat untuk kembali turun ke Garut. Mengapa? Karena bus Primajasa terakhir dari Terminal Guntur ke Jakarta Cililitan sekitar jam 5-jam 6 sore. Jadi mohon untuk tertib dan tidak banyak terlena berleha-leha karena perjalanan masih panjang, Jendral!



Seperti biasa, perjalanan pulang terasa lebih cepat dari perjalanan berangkat. Kami memilih untuk turun dari area Hutan Mati. Di pinggir tempat kami berfoto area "Rawan Longsor" tersebut ada anak tangga yang cukup...... curam. Harap berhati-hati karena di situlah ujian. Bebatuan dan kerikil harus mampu kita kuasai supaya tidak terpeleset. Tapi tetap saja, beberapa kali di antara kami ada yang terpeleset manja akibat kelalaian dalam memilih batu pijakan yang kuat. Maka, pilihlah pondasi yang kuat supaya perjalanan yang dilewati pun menjadi semakin mantap. Asaelah....


Perjalanan di bawah adalah perjalanan pulang yang diabadikan dalam gambar.
See you later, Papandayan!



Jalan Setapak





Seorang penduduk setempat melintas dengan kuda besinya.



Sungai Belerang. Hangat.



Toilet




Ditulis di Jakarta, 25 Januari 2017

Monday 2 January 2017

2 of 3 : Ternyata Ada Babi Hutan Sungguhan di Papandayan!






Sudah sejak perjalanan dari Jakarta menuju Garut, teman saya sebut saja Tobing dan Harahap melulu bercanda soal babi hutan. Entah dari menirukan suara babi, membahas gerak-gerik babi, atau apapun yang berkaitan dengan babi hutan, mereka senang bukan kepalang membahasnya. Dan iseng saya bertanya:

“Babi apa Lan?”
“Babi hutan! Babi yang tingginya se anak sapi dan badannya hitam berbulu dan bertaring itu lho”
“Ih serem banget dong, masa sih.”

Teman saya Tobing ini kalau bercanda suka kelewatan, jadi waktu itu saya berpikir bahwa ceritanya adalah isapan jempol belaka. Maka saya betul-betul tak ambil pusing dan berpikir bahwa babi hanya akan kita temui nanti di hutan saja. Dan percakapan itu saya lupakan sampai akhirnya sore itu kami habiskan bermain kartu di tenda dan hujan kembali turun dengan derasnya. Mengintip dari balik celah tenda, ternyata di luar sudah petang dan angin berhembus sangat kencang. Salah satu pancang flysheet (semacam terpal untuk atas tenda) sampai terlepas dan berkibas-kibas dengan brutal. Lagi-lagi teman-teman kami harus berbenah sana-sini demi menciptakan malam yang nyaman.

Pun saya baru menyadari bahwa tenda kami tak bertetangga dan berada di area paling pinggir, paling dekat dengan hutan. Saat itu di sekitar tenda sudah gelap, hujan pun sudah bukan hanya gerimis, ditambah pula angin yang menderu-deru. Lengkap sudah suasana betul-betul mencekam. Kami sepakat untuk segera berpisah dan pergi tidur ke tenda masing-masing saja. Sampai akhirnya Bapak penjaga warung mengingatkan kami:
“Dek, itu plastik sampah makanannya taruh di atas pohon saja, supaya tidak ada (ditemukan) babi”.

Alamak!

Detik itu juga saya mematung dan merasa sangat ingin pulang. Yang benar saja! Kalau warga sekitar yang mengingatkan, berarti babi itu ada sungguhan dong? Bergegas saya menjadi yang paling cekatan mengumpulkan sampah makanan dan menggantungnya di ranting-ranting pohon. Sebelum pergi ke tenda wanita, saya sempatkan memastikan ke rekan saya;
“Lan, jadi.... babi hutan itu ada sungguhan?”
“Iya beneran ada! Dulu waktu aku dan teman-temanku bikin tenda di sini dan kami nggak taruh plastik di ranting, tenda kami dimasuki babi”.
Dan seketika lutut saya menjadi lemas....

Malam itu masih pukul 19.00.
Dan saya merasa malam mengapa sangatlah panjang. Dari seluruh lelahnya perjalanan, saya mengakui bahwa tantangan terbesar dari piknik di gunung adalah tidur di malam hari. Betapa tidak, tidak satupun dari kami anak-anak wanita membawa matras. Beberapa lembar kardus dan sleeping bag sungguh tidak membantu. Baju hangat yang berlapis, kaos kaki, sarung tangan, buff, sudah saya kerahkan tapi sama saja. Badan saya lemah terhadap dingin. Ya elah.
Catatan untuk perjalanan selanjutnya (jika ada dan terjadi): matras itu perlu!!!!

Selain dibayang-bayangi rasa dingin dan angin yang terus berhembus, hati kecil saya tidak tenang karena... takut babi!!! Maka malam yang panjang itu membuat saya terbangun setiap beberapa jam sekali. Dan setiap bangun, saya selalu menajamkan pendengaran untuk mengidentifikasi suara-suara aneh yang tidak diinginkan. Tapi syukurlah, sampai pukul 02.00 dini hari keadaan terpantau aman, sudah tidak hujan, dan badan sudah sedikit beradaptasi.

Sampai akhirnya saya dan Amel sama-sama terbangun oleh suara lolongan anjing bersahut-sahutan. Sontak saya cek jam tangan yang selalu menempel : masih pukul 04.00. Di tengah remang-remangnya lampu headlamp yang kami letakkan di ujung tenda, kami berpandang-pandangan dan berpelukan.
“Fi.....”, gumam Amel merapat.
Tak lama setelah itu, terdengarlah suara yang saya takutkan semalaman tadi.

NGGROK. NGGROK. NGGROK.

Mak!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Seketika saya komat kamit membaca doa apapun yang saya bisa. Amel dan saya sudah seperti Teletubbies yang sedang reuni. Saling mengatur nafas, kami berusaha untuk membatu dan tak bergerak barang satu centimeter pun. Sekelebat bayangan terlihat melintasi tenda kami, diiringi pelukan kami yang lebih erat satu sama lain. Demi apapun, harapan saya saat itu hanya ada dua: jangan sampai babi hutan ini ada yang mengamuk dan semoga lekas pagi.

Setengah jam yang terasa seperti sewindu itu akhirnya berakhir dengan lambat laun ada suara orang hilir mudik dan sorot lampu dari tenda teman-teman pria. Seketika saya buka retsleting pintu tenda dan bersyukur tak henti-hentinya.
“Laaaaaaaaaaaaaaaaan, tadi ada babiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!”
“Emang. Kan udah dibilang”.




1 of 3 : Dadakan ke Papandayan

Perjalanan mendadak ke Papandayan telah menutup minggu terakhir di tahun 2016 dengan sempurna. Bersyukur karena persiapan kurang dari satu minggu itu tidak menjadi penghambat yang berarti. Isu dilempar ke publik hari Selasa, Jumat pagi konfirmasi siap berangkat, dan hanya punya waktu 1 hari untuk benar-benar menyiapkan semua untuk keberangkatan Sabtu malam.

Trip dadakan ini membuat sedikit kewalahan karena kami yang bukan anak gunung kocar-kacir mencari pinjaman atribut. Hal-hal penting seperti jaket tebal, sleeping bag, tas ransel (iya, di Jakarta saya tidak punya tas ransel yang bersahaja untuk naik gunung), bisa saya pinjam dari teman yang doyan naik gunung. Tapi pernak pernik lain seperti tenda, headlamp, kompor kecil, dan nesting, harus kita sewa. Lumayan murah kok sewa peralatan seperti itu, thanks to Maulana who sacrificed himself to be the person in charge of serba serbi! 

Kami memutuskan untuk naik bus saja supaya adil, tidak ada yang lebih capek di jalan karena harus berkorban menyetir selama beberapa jam. Bus Prima Jasa pool Cililitan menjadi pilihan kami karena terhitung paling dekat dengan kos kami semua. 

Sabtu, 24 Desember 2016
Pukul 19.30 semua personil berjumlah 8 orang sudah menampakkan batang hidungnya di terminal. Namun karena menyadari bahwa sampai Garut nanti pasti sudah dini hari, maka yang merasa sedikit lapar memutuskan untuk mengisi amunisi dulu entah dengan tumpeng atau kambing guling (sumpah, teman-teman saya makannya lama banget!).

Pukul 20.30 bus yang mau kita naiki sudah siap. 
“Lan, kita kok nggak beli tiket dulu? Bus nya udah siap tuh, nanti kalau kehabisan gimana?”
“Mana ada beli tiket, naik bus mah yang penting kita masuk, terus duduk, terus bayar di dalem!”
Oh, iya ya. Sudah lama sekali saya tidak naik bus antar kota antar propinsi. Saya lupa kalau naik bus ini tidak perlu membeli tiket seperti kalau kita mau naik kereta. Hehehe. 
Bus yang kita naiki cukup nyaman. Bersih dan ber-AC, AC dingin malah! Jadi bagi orang yang kurang tahan dingin seperti saya ini harus bersiap jaket tebal atau pashmina atau kalau perlu bangun tenda supaya bisa tetap tidur dengan damai. Bus akan berhenti di beberapa titik penjemputan, tapi tidak apa-apa karena di setiap perhentian itulah kita bisa jajan-jajan entah tahu goreng atau kopi panas. Mana yang kamu inginkan saja.
Waktu tempuh terminal Cililitan – Terminal Gantur: kurang lebih 4 jam.
Biaya : Rp 52.000 per orang.

Minggu, 25 Desember 2016
Sekitar pukul 02.00 kita sampai di Terminal Guntur. Suasana khas terminal dengan bau bensin dan hiruk pikuk yang didominasi Mas-Mas dan Bapak-Bapak menyambut kami. Untuk menuju Papandayan ternyata harus dua kali naik angkot lagi. Nah, keuntungan dari naik gunung berombongan adalah biaya transportasi bisa dibagi lebih banyak orang. Angkot ini sistemnya borongan, waktu itu sekali jalan dipatok Rp 200.000. Kalau anggota kalian lebih banyak namun masih bisa ditampung dalam 1 angkot, tentu biaya akan menjadi lebih terjangkau. 
Waktu tempuh dari Terminal Guntur-pemberhentian selanjutnya : kurang lebih 30-45 menit.
Biaya : Rp 25.000 per orang.

Pukul 02.30 an kita sampai persimpangan Cisurupan.
Yang jelas di sana memang sudah ada pembagiannya, bahwa angkutan umum hanya boleh mengangkut penumpang dari titik terminal ke titik pertigaan ini, tidak boleh langsung ke Basecamp David, perhentian terakhir kendaraan. Jika anggota lebih dari 8 orang, maka akan diangkut dengan mobil pick-up, tapi karena kemarin kami hanya 8 orang, entah bagaimana ceritanya akhirnya kami diangkut dengan mobil Avanza. Oiya, di situ Indomaret tidak buka 24 jam, yang masih tersedia hanya tukang nasi goreng dan ATM BNI. Silakan mempersiapkan perbekalan sejak di bawah tadi ya.
Waktu tempuh persimpangan Cisurupan-Basecamp David : kurang lebih 30-45 menit.
Biaya : Rp 25.000 per orang.

Di tengah perjalanan menuju Basecamp David, akan ada pos pemberhentian. Salah satu anggota harus turun dan melapor di pos mengenai nama dan nomor telepon anggota yang memasuki area Papandayan. Juga akan didata siapa saja yang akan menginap di sana dan siapa saja yang tik-tok, atau langsung turun dan tidak menginap. Hmmm ternyata biaya naik gunung tidak seekonomis yang kami bayangkan ya.
Biaya menginap : Rp 65.000 per orang.
Biaya tik-tok : Rp 35.000 orang.

Pukul 03.30 sudah tiba di Basecamp David.
Tempat ini adalah lokasi perhentian terakhir kendaraan menuju Papandayan. Yang membawa mobil sendiri bisa diparkir di sini, dan tenang saja tempat parkirnya luas kok. Sambil menunggu subuh, sudah ada beberapa warung yang buka. Mau makan di situ atau dibungkus dan dimakan di atas gunung, terserah aja. Saya sih di situ hanya makan teh manis hangat dan gorengan. Nasi gorengnya bungkus saja dan dimakan di atas nanti mana tau lapar di jalan. Harga nasi goreng plus telur dadar berkisar 15-20ribuan kalau tidak salah.

04.30
Selepas menunaikan shalat subuh, kami berdoa sebelum mengawali perjalanan. Baru beberapa ratus meter melangkah dan merasakan tanjakan naik, saya yang tidak pernah olahraga ini langsung miskin tenaga. Begitulah, meskipun pendakian ke Papandayan ini mungkin dianggap tak seberapa oleh para pendaki cantik dan ganteng yang telahmenaklukkan Mahameru, tapi bagi saya pribadi pendakian ini adalah pencapaian. Tak terhitung berapa kali kami para wanita silih berganti minta berhenti untuk beristirahat (dan saya gunakan kesempatan emas itu untuk mengeluarkan kamera) dan foto-foto. Percayalah, foto yang indah adalah amunisi terbaik di tengah perjalanan!





Dari Camp David, ternyata antara pos satu dan pos lainnya tidak terlalu jauh. Tapi bagi pengunjung pemula yang membawa tas berisi botol aqua 1.5 liter dan serba-serbi lainnya saja sudah sempoyongan seperti saya, tetap saja jauh! Nyamannya Papandayan adalah di setiap pos ada toilet umum dan gubuk-gubuk orang jualan. Waktu subuh itu sih belum buka, tapi mungkin kalau siang sedikit sudah buka. Jadi tepiskan jauh-jauh rasa khawatir akan rasa lapar haus dan kebelet hajat itu di sana. Medan terpantau aman, Jenderal!

Oh iya, dari Camp David menuju area perkemahan ini kurang lebih dua jam ditempuh dengan hitungan setiap beberapa ratus meter berhenti sejenak. Hahaha. Maklum, dari 8 orang, 5 orang anggotanya ladies. Perjalanan pun terbantu dengan adanya tangga dan anak tangga.  Sebelum mencapai Pondok Saladah Camp Area tempat kami bernaung, ternyata ada satu area bernama Ghober Hut. Bisa juga berkemah di situ, tapi sepertinya lebih sempit dan lebih jauh dari area hutan mati.




07.00 hore!
Akhirnya sampai di Pondok Saladah Camp Area. Sebelum mendirikan tenda ternyata kita harus melapor dulu dan nanti akan diberi info area mana saja yang kosong atau sebentar lagi kosong. Setelah memutuskan tempat mana yang akan kita dirikan tenda, nanti akan diberi nomor tenda oleh si Bapak penjaga. Dan ulala. Saya merasa bukan sedang ada di gunung seperti bayangan saya. Ini sih seperti sedang ada di Tangkuban Perahu. Di situ banyak sekali lapak-lapak penjual indomie, cilok, minum, telur, sandal jepit, sunlight, shampoo, sabun, nasi goreng... Mungkin beberapa tahun lagi di situ juga ada penjual nasi padang.

Hal menyenangkan yang bisa dilakukan di gunung adalah mendirikan tenda dan memasak. Dan masakan yang paling enak di atas gunung adalah mi instan! Hahahaha. Tak terhitung berapa bungkus mi instan yang telah kami sikat hari itu. Alternatif lain adalah makanan yang mudah diolah seperti telur, sarden, atau makanan cepat saji yang dijual di supermarket-supermarket. Entah mengapa makanan yang kita nikmati di gunung terasa lebih lezat. 

Sekitar pukul 13.30 hujan yang awalnya gerimis berubah menjadi lebat!

Astaga Omma. Rencana siang ini mau ke hutan mati dan Tegal Alun pun buyar sudah. Berbekal mantel yang sudah disiapkan dari Jakarta dan cangkul pinjaman dari Bapak warung, para Mas-Mas pun seketika berperan menjadi pria macho yang rela menembus hujan untuk mencangkul dan menciptakan parit-parit kecil di sekitar tenda. Di hati kecil ini kami kasihan juga melihat mereka, tapi ya sudahlah. Namanya juga camping! Hahaha. 


Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger