Tuesday 10 April 2018

Menuju Puncak dan Meniti Turun Gunung Cikuray (2 of 2)







Summit Time, 04.30 am
Alarm dari masing-masing ponsel peserta mulai berdengking-dengking dari pukul 04.00. Demi summit yang sempurna, mau tidak mau kami membuka mata dan mulai bersiap. Membawa beberapa cemilan dan botol air minum, sebelum menuju puncak kami memanjatkan doa bersama terlebih dahulu bersama anggota yang lain. Kira-kira mulai pukul 04.30 lah kita mulai menapaki rintangan-rintangan yang gelap tak terlihat. Oiya, jangan lupa membawa headlamp atau senter! Namanya juga di gunung, tidak mungkin ada lampu jalan.
Bagi saya, perjalanan menuju puncak cukup membuat ngos-ngos-an. Mungkin karena mesin belum panas. Ya mungkin saja. Tapi ya apa mungkin karena lapar juga bisa. Atau karena memang stamina yang terlalu letoy. Yang jelas, jarak tempuh kira-kira hampir 1 jam. Padahal seharusnya untuk anak muda yang masih lincah hanya butuh 20 menit. Tidak banyak yang saya ingat, karena jalanan masih gelap. Namun di tengah perjalanan memang beberapa kali kami sempat berhenti untuk sekedar makan soyjoy atau mencuri-curi nafas.

Lambat laun, ranting-ranting pohon rimbun yang menaungi kami mulai tersibak. Dan harapan itu muncul berwujud warna langit yang berwarna jingga keunguan. Nampak perlahan-lahan. Sekitar pukul 5.45 tibalah kami di puncak 2812mdpl. Hening.
Terlalu indah untuk dideskripsikan. Mata ini dimanjakan dengan gulungan awan tebal berlapis yang terhampar begitu elok. Seperti berada di atas awan. Berpadu dengan semburat matahari terbit, tiada yang ingin diucapkan selain rasa syukur.

Kontemplasi di Puncak Gunung
Apa ya. Ya mungkin seperti inilah yang selalu dibilang orang-orang, bahwa terseok seoknya di perjalanan itu akan lunas terbayar saat kita mendapat bonus pemandangan di puncak sini. Tapi kemudian saya berpikir kembali, mengapa pula orang-orang berpesan bahwa jangan jadikan puncak adalah tujuan? Setelah lama terdiam, sepertinya pelan-pelan saya menemukan jawabannya.

Mungkin saat itu puncak gunung terasa begitu indah karena memang sejak pertama kali kaki ini menapak keluar dari kos-kosan, saya tidak berekspektasi apa-apa terhadap cantiknya puncak Gunung Cikuray. Perjalanan yang berat dan minim pemandangan sudah saya ketahui infonya. Betul-betul saat itu memutuskan beramai-ramai naik gunung murni karena memang mau berpetualang saja. Tidak hujan di perjalanan saja sudah kami syukuri bukan main. Jadi memang tidak ada keinginan yang muluk bahwa nanti akan mendapati keindahan di puncak. Tidak adanya ekspektasi justru membawa saya menjadi sangat bersyukur ketika mendapatkan sesuatu.

Di Puncak Ada Penjual Tahu
Ya, di puncak Gunung Cikuray satu-satunya penjual yang exist adalah penjual tahu . Kami menyebutnya tahu dingin. Karena memang tahunya dingin. Terlalu lama di puncak sepertinya. Hahahahah. Sungguh tidak terbayang bagaimana cara abang-abang itu membawa gerobak pikulnya naik ke atas. Sayang sekali lupa kefoto. Selain itu tidak ada lagi penjual makanan di atas sana. Tidak ada penjual air, mi instan, deterjen, shampoo, dsb. Juga tidak ada toilet umum. Jadi ya betul-betul harus siap logistic dari bawah.

Kondisi di puncak terdapat satu gardu, beberapa batang pohon, dan sisanya tanah lapang (tidak terlalu lapang) yang terhampar. Ternyata cukup banyak pendaki yang menggelar tenda bermalam di sini. Haduh, tak terbayangkan bagaimana dinginnya di malam hari atau kalau-kalau ada angin besar sedang datang bertandang.



Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger