Monday 29 December 2014

Perbedaan

Sumber: Koleksi pribadi



Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.


Hidup ini indah, dengan kejutan-kejutan manis di setiap perjalanannya, juga hentakan-hentakan kecil yang membuat kita mau tidak mau berpindah posisi. Bermasyarakat itu isinya perbedaan, mulai dari marga, kepercayaan, kondisi kesejahteraan, dan pola pikir. Pasti semua ada perbedaannya. Kalau kita jeli, pola pikir itu sangat dekat dengan watak dan hati. Sebenarnya saling terhubung, tapi sayangnya tidak selalu selaras dengan tindakan.

Bayangkan bahwa kita ini hidup di sebuah ‘ruang’. Masyarakat hidup menempati ruang yang berbeda dengan segala perbedaan lainnya yang ada. Ada yang di bawah, ada yang di atas. Ada yang di pinggiran, ada yang di pusat keramaian. Ada yang tinggal di tempat kumuh, ada yang tinggal di tempat yang seluruh sudut ruangannya wangi. Ada yang tak mengenal apa itu junk food, ada yang tak mengenal apa itu nasi aking. Ada yang menganggap bahwa kebahagiaan itu nomor satu, ada yang menganggap bahwa gaya itu nomor satu. Masing-masing individu bebas memadu-padankan sudut mana yang menurut mereka paling tepat untuk ditempati.

Terus terang saya pribadi saat ini masih terus mencoba untuk menghargai dan mencoba melihat sesuatu lebih dari satu sudut pandang. Hasilnya, mencoba untuk menambahkan satu sudut pandang dalam melihat sesuatu itu tidak semudah yang saya bayangkan. Banyak argumen dan sudut pandang orang lain yang tidak bisa saya terima begitu saja. Entahlah, apakah itu pertanda bahwa saya masih terlalu konservatif?

Suatu hari saya dan keluarga pernah berhadapan dengan seorang Bapak paruh baya yang hendak menjual tanahnya. Tanda sepakat telah terjadi bersamaan dengan penandatanganan surat dan penyerahan sejumlah uang untuk down payment. Tapi betapa mengejutkannya ketika kami bersama-sama mendatangi pihak notaris dua hari kemudian, Bapak tersebut berubah pikiran.

Sang Bapak berkehendak bahwa jika kami benar-benar berniat untuk membeli tanah tersebut, maka kami harus mentransfer sisa uangnya pada saat itu juga. Terus terang jumlah uang tersebut tidak sedikit, sehingga pihak notaris pun tidak berani memberikan jaminan dan tidak mau terlibat jika jual-beli ini tidak sesuai dengan SOP. Begitupun dengan saya dan kakak saya, meskipun kami percaya bahwa sertifikat tanah tersebut asli, tapi proses pembayaran baru bisa dilakukan setelah melalui tahap validasi dari pihak Badan Pertanahan Nasional. Kami pun lebih tenang jika semua akad dilakukan sesuai dengan SOP.

Namun bagaimanapun kami mencoba menjelaskan, ternyata tidak mampu mengubah pikiran Sang Bapak. Dengan segala upaya kami bujuk dan berikan pengertian mengenai kondisi lapangan yang tidak bisa kami kendalikan, tapi hasilnya nihil. Akhirnya kakak saya pasrah dan mengikhlaskan saja jika pembelian tanah ini dibatalkan. Tetapi masih ada satu ikhtiar lagi yang coba kami lakukan, yakni pindah ke notaris yang lain.

Sebelum diskusi dengan pihak notaris kedua, kami melakukan sholat zuhur bersama-sama. Kami pasrah. Tapi apa yang terjadi setelahnya? Proses penjelasan kondisi lapangan dan SOP yang berlaku oleh pihak notaris berlangsung sangat lancar dan Sang Bapak langsung setuju untuk mengikuti SOP yang berlaku. Astaga, kami pun terdiam dan justru heran setengah mati mengapa Sang Bapak bisa secepat dan semudah itu berubah pikiran dan berubah sikap?

Selepas dari tempat tersebut, Sang Bapak bercerita bahwa dia lebih percaya pada notaris kedua karena pihak notaris menggunakan jilbab, tidak seperti pihak notaris yang pertama. Sang Bapak menjadi lebih tenang jika proses jual-beli ini dibantu oleh orang yang seagama dengannya. Deg. Sungguh kaget saya mendengar alasan dari Sang Bapak. Ternyata tidak selamanya jalan pikiran orang itu sama.

Saya tidak bisa menilai baik buruk dan benar salah seseorang dalam berpikir dan mengambil sudut pandang. Selama saya masih bisa menerima cara pandang orang lain dan itu sah-sah saja, maka saya tidak ada masalah dengan itu. Namun tak jarang ada sudut pandang orang lain yang tidak bisa saya terima. Untuk mengatasi hal ini, saya memilih untuk mengutarakan pendapat saya jika kondisi menyangkut sebuah pilihan. Atau saya memilih untuk diam dan cukup mendengarkan sudut pandang dari orang tersebut. Lumayan, nambah-nambah wawasan. Pada kesempatan yang lain akan saya tuliskan mengenai sudut pandang sudut pandang lain yang kadang membuat saya berdecak heran.



JOG, 291214

Wednesday 26 November 2014

Enjoy Singapore for 42 Hours

Ikon USS yang terkenal itu

Tulisan ini bukan panduan atau guidance, bukan juga tips dan trik, namun sekedar catatan perjalanan yang diabadikan melalui media digital. Boleh untuk dijadikan contoh itinerary perjalanan pembaca, atau sekadar bacaan untuk refreshing saja. Perjalanan ke Singapura merupakan perjalanan pertama saya ke luar Indonesia, sehingga short escape ini sangat minim persiapan dan semua dilakukan serba mendadak. 

Hari 1

Berangkat dari Bandara Adisucipto International Airport, Yogyakarta dengan maskapai penerbangan Tiger Air (yang sekarang sudah gulung tikar). Jadwal penerbangan saya pukul 18.00 dan dijadwalkan tiba di Changi Airport pukul 21.00. FYI, perbedaan Waktu Indonesia Bagian barat dengan Singapura selisih 1 jam ya, lebih cepat Singapura. Sampai di Changi Airport, kami sempatkan mengisi air minum beberapa botol karena seperti yang kita tahu, air minum di Singapura mahalnya tiga kali lipat dari Indonesia!


Ini lho keran air minum gratis

Setelah dilakukan pemeriksaan di bagian imigrasi, kami menuju Stasiun MRT dan membeli kartu EzLink yang akan kami gunakan sepanjang perjalanan di Singapura. Kartu ini memiliki masa berlaku lima tahun dan hanya dapat digunakan untuk tiket MRT saja. Pemberhentian kami adalah Stasiun Al-Junied, karena hotel yang kami tuju ada di sekitar stasiun tersebut. Rasanya naik MRT itu tidak berbeda jauh dengan kereta Prambanan Express, penuh sesak dengan penumpang. Di atas pintu pada setiap gerbong MRT terdapat peta MRT seluruh jalur serta notifikasi stasiun pemberhentian, sehingga memudahkan penumpang yang belum terlalu mengenal wilayah Singapura.


Suasana di dalam MRT

Kami menginap di Fragrance Hotel Ruby, di sekitar lorong Geylang. Iya, Geylang. Tanpa saya ketahui sebelumnya bahwa daerah Geylang merupakan daerah prostitusi yang cukup terkenal, yah setara dengan Pasar Kembang di Jogja atau Dolly di Surabaya ya. Tapi tenang saja, meskipun daerah prostitusi, tapi mereka tetap pilih-pilih untuk menggoda calon pelanggan, sehingga daerah tersebut tetap kondusif untuk menginap.






Suasana di sekitar Geylang malam dan pagi hari

Keuntungannya, tempat makan di daerah Geylang buka hingga malam hari daaaan murah! Hehehe. Malam itu saya dan Kakak saya memilih nasi dan oseng cumi seharga SGD5 untuk makan malam. Selain lezat, porsi makannya pun melimpah.

Nasi oseng cumi di lorong Geylang.


Hari 2


Perjalanan dimulai pukul 08.00, dan lagi-lagi dengan MRT menuju Vivo City untuk menuju Sentosa Island. Tujuannya apalagi jika bukan Universal Studio Singapore (USS) yang tersohor dengan ikon bola dunianya itu! Sebelum menuju Sentosa Island, kami menyempatkan sarapan di Vivo City Mall. Menu sarapannya adalah nasi padang! Hahaha. Meskipun porsinya lumayan, tapi nasi padang di Singapura tidak seenak di Indonesia, dengan kisaran harga sekitar SGD5-10.



Nasi lemak telor + ayam dan ikan asin di Vivo City Mall

1. Universal Studio Singapore


Sesampai di USS kami membeli tiket masuk seharga SGD64 sudah termasuk kupon makan SGD10 dan kupon belanja sebesar SGD10. Lumayan. Sayangnya belum sampai dua jam di sana, hujan turun. Dari yang awalnya gerimis hingga menjadi lebat. Mau tak mau kami membeli mantel transparan spesial versi USS seharga SGD10! Tak banyak wahana yang dicoba karena panjangnya antrean dan ribetnya bawaan karena hujan turun. Wahana galactica itu juga tidak buka karena cuaca yang tidak mendukung. Ah, toh meskipun buka saya tidak ingin menaikinya juga. Hahaha.




Penari di dalam arena USS

Di belakang itu adalah wahana galactica yang terdiri dari jalur merah dan biru 


Pizza oven sebagai menu makan siang di USS

 Menu sate di salah satu foodcourt di USS


2. Chinatown


Setelah lelah mengelilingi USS, kami bertolak menuju Chinatown untuk berbelanja souvenir dengan harga murah abis. Berbagai souvenir seperti gantungan kunci, kaos, tas, hiasan dinding, dijual sangat murah. Saya tidak melakukan tawar menawar karena hampir semua barang sudah diberi label harga. Dan memang setelah saya bandingkan dengan tempat lain, di sini sentra penjualan termurah yang saya temui selama perjalanan. Tapi di lokasi ini hanya sedikit coklat yang bisa kami temui, sehingga saya hanya membeli pernak-pernik saja.


Suasana di ujung gerbang Chinatown

3. Bugis Street
Lagi-lagi, menambah berat tas belanjaan di tempat ini. Tempat ini penuh sesak, apalagi saya berkunjung di akhir pekan. Saran saya, ketika akan ke pusat perbelanjaan bawalah tas besar pribadi, sehingga barang bawaan tidak tercecer ber-kresek-kresek besar seperti saya kemarin. Untuk membeli cokelat dan permen-permen saya sarankan di Bugis Street ini saja karena harganya terpaut sangat jauh dengan harga cokelat di Changi Airport, dengan cokelat yang ber-merk sama. Harga barang lainnya memang murah, tapi masih lebih murah Chinatown menurut pengamatan saya. Contohnya, di Chinatown tas lipat semacam longchamp bag dibanderol SGD10 for 4 items, sedangkan di Bugis Street rata-rata menawarkan SGD10 for 3 items. Di beberapa tempat di Bugis Street saya sempat menawar harga barang, khususnya di tempat yang tidak memasang harga atau toko yang agak sepi pengunjung. 


Penuhnya pengunjung Bugis Street di hari Minggu



Selepas lelah dari Bugis Street, kami pun pulang dan mampir KFC untuk membeli makan malam take away karena riuhnya suasana mall di (saya lupa waktu itu di mall mana). Ketika yang lain sedang mengantre, saya berkeliling mall dan melihat-lihat makanan unik yang bisa saya beli. Akhirnya saya membeli apple pie dan beberapa roti yang kelihatannya enak. Sesudah mandi dan berganti pakaian, saya dan kakak saya  memutuskan untuk kembali keluar untuk membeli prata (1 SGD) dan sop kaki kambing (4 SGD) di warung khas India. Harga itu sudah termasuk murah dan amat sangat kenyang dan amat sangat enak sekali dengan porsi yang amat sangat banyaaaak! Kalau ada kesempatan kesana lagi pasti saya akan kembali mencoba sop kaki kambing itu.


 Nasi dan sop kambing khas India di lorong Geylang

(Sisa) prata asli bikinan orang India

Hari 3
Hari ketiga dimulai dengan menuju Merlion Park dan sekitarnya, seperti Esplanade, dan lain sebagainya. Entahlah, teman-teman yang lain merasa untuk tidak perlu sarapan terlebih dahulu. Syukurlah roti semalam masih sisa dua atau tiga biji. Alhasil saya dan kakak saya tidak perlu berlapar-lapar sampai siang karena memang kami baru makan di sore hari saat berada di bandara!

1. Merlion Park
Saran saya, jangan jadikan tempat ini sebagai destinasi terakhir perjalanan karena repotnya membawa koper untuk turun menuju spot favorit mengambil gambar patung singa yang tersohor itu. Bukan main, selain panas yang menyengat, padatnya pengunjung di hari Minggu membuat saya harus gesit mengambil tempat foto jika tidak ingin keduluan dengan pengunjung yang lain. Oiya, jangan kaget jika di tempat ini yang kalian temui adalah orang-orang berbahasa jawa, ngapak, bugis, banjar, medan, dsb. Hahaha. Karena bagaimanapun juga, pengunjung terbanyak hari itu yang saya temui adalah sama-sama orang Indonesia!


Selain patung singa, dengan berjalan beberapa meter dari tempat itu maka bisa ditemui gedung durian sebagai spot foto yang lain. Gedung durian itu sebenarnya merupakan hall yang digunakan untuk konser, yang dikenal dengan Esplanade. Tapi sayangnya, bentuk bangunan yang sebenarnya bermaksud berbentuk mikrofon itu justru nampak seperti durian. Hahaha.




Suasana di sekitar Merlion Park dan Esplanade

2. Orchard Road
Untuk memastikan kenyamanan, saran saya yang lain adalah: gunakan sepatu kets dan bukan flat shoes untuk menjelajahi negeri orang. Karena bagaimanapun juga, berjalan kaki adalah transportasi utama yang akan kita gunakan. Seperti yang kita ketahui, hari Minggu di Orchard Road merupakan waktu favorit para TKI kongkow di sepanjang jalan. Hmmmm. Jadi silakan dandan yang necis ya, supaya tidak kalah dengan mereka yang berdandan total untuk sekedar menghabiskan waktu dan mengobrol berombongan di sepanjang jalan. Tidak banyak yang saya beli di sekitar sana karena kaki saya sudah terlalu pegal dan panas. Yah untuk sah-sahnya saja saya membeli es potong khas Singapura pada seorang uncle seharga 1SGD. Rasanyaaaaaaaa, biasa saja! Hahaha.


Yang di belakang itu Lucky Plaza!


Oiya, jika ingin menikmati kuliner dan berbelanja dengan harga murah, silakan mengunjungi Lucky Plaza. Mall tua itu menjadi alternatif perbelanjaan di antara mall-mall besar di sampingnya yang melihat labelnya dari luar saja sudah bikin keder. Hehehe.

Salah satu sudut yang tertangkap di Orchard Road

Jam sudah menunjukkan pukul 13.30, sehingga kami langsung menuju Changi Airport dan memilih makan siang di Mc Donalds saja supaya cepat. Pesawat kami meninggalkan Singapura pukul 15.40. Demikian perjalanan selama 42 jam saya ke Singapura, jujur saya sangat ingin kembali kesana lagi suatu hari nanti untuk mengeksplor lebih banyak tempat lagi yang terlewati!





Thursday 21 August 2014

Dampak dari Negativisme

foto diambil dari: www.krole-zone.blogspot

Manusia melakukan apa yang dia senangi dan tidak melakukan apa yang tidak dia senangi. Padahal bukan itu hakikat manusia hidup. Jika masih seperti itu, sama saja mereka itu bayi.”
Kalimat tersebut tidak sama persis dengan yang ditulis oleh Cak Nun di bukunya yang berjudul ‘Ketika Tuhan Berpuasa’, namun kurang lebih seperti itu inti yang ingin disampaikan oleh beliau soal berpuasa. Manusia berpuasa bukan karena dia senang berpuasa atau sedang ingin berpuasa karena hendak menekan hawa nafsunya. Tetapi manusia berpuasa karena yang mereka ketahui demikianlah kewajiban mereka. Meskipun mereka tidak menyenangi puasa, tetapi mereka tetap berpuasa karena kewajiban (sebagaimana yang mereka yakini selama ini). Manusia berpuasa karena takut dosa jika tidak melaksanakannya. Takut hidupnya jadi sulit jika dia lalai akan keharusannya. Manusia diharuskan berpuasa, lalu mereka melakukan puasa karena adanya perintah tersebut, titik. Sejatinya perlu diluruskan lagi niat dan tujuannya supaya tidak salah kaprah. Kembali bertanya pada nurani, seperti itukah seharusnya?



Jangan lupa sholat, nanti Tuhan marah kalau kamu nggak sholat. Nggak mau kan hidupnya susah.”
            Tidak ada yang sepenuhnya salah pada kalimat tersebut, karena pada intinya dia (orang yang mengucapkan kalimat tersebut) menganjurkan pada kebenaran yang sesuai dengan agama Islam. Lalu apa yang menjadikannya kalimat tersebut menarik perhatian saya? Negativisme. Implikasi yang ditimbulkan dari kalimat anjuran yang baik mengapa justru kalimat yang mengandung makna negatif. Padahal kita semua tahu jika muatan positif yang bertemu dengan muatan negatif dimenangkan oleh muatan negatif. Setidaknya, kandungan positif akan berkurang sepersekian persen oleh karena adanya kandungan negatif. Kalau kata orang Jawa sih muspro, atau sia-sia. Alih-alih anak kita kelak rajin sholat karena sadar akan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, tetapi yang diingat justru ketakutannya akan hidup susah. Terlalu sayang jika Tuhan dijadikan sebagai dalih atau sebab dari kelalaian yang sejatinya datang dari diri kita sendiri selama ini.



Sudahlah, kamu bikin saja laporan keuangan ini dan selesaikan minggu ini. Kalau tidak begitu nanti Bos bisa marah.”
            Kalimat itu diucapkan oleh seorang rekan kerja pada kawannya yang menjabat sebagai Supervisor of Accounting Department. Yang benar saja, mereka digaji di perusahaan tersebut dengan gaji yang (seharusnya) memang sebanding dengan kinerja masing-masing. Jadi membuat laporan keuangan itu bukan lagi menjadi pekerjaan yang terkesan ‘ya bagaimana lagi, mau tidak mau saya harus melakukan ini’. Kadang melupa bahwa pekerjaan itu saya lakukan karena memang saya butuhkan. Saya butuh hidup, butuh pemasukan untuk menghidupi kehidupan, butuh pemasukan untuk memenangi gaya hidup yang ampun ampunan. Kalau Bos saya mau, bisa saja dia memberhentikan saya dari pekerjaan, sehingga tidak usah lagi saya menyusun laporan keuangan dan tidak usah lagi saya merasa takut dimarahi. Tapi benarkah itu kebutuhan saya? Ternyata tidak, saya hanyalah manusia yang selalu menuntut dan lupa bersyukur. Lupa akan rasa membutuhkan yang saya miliki. Dan ketika Tuhan memberikan apa yang saya butuhkan, dengan tidak tahu dirinya saya lupa akan kontraprestasi yang sudah seharusnya saya lakukan atas dasar keikhlasan hati saya.

Lupa kalau puasa itu memiliki puluhan muatan positif yang sesungguhnya ada untuk kebaikan manusia. Lupa kalau puasa itu sebagai rem atas diri sendiri yang tak jarang ‘blong’. Lupa kalau puasa memberi kontribusi pada kesehatan jasmani saya. Lupa kalau puasa memberi kesempatan pada saya untuk lebih banyak mengingat pada kebaikan dibandingkan dengan ketidakbaikan.
Lupa kalau sholat itu yang membawa diri saya pada ketenangan. Lupa kalau sholat itu adalah satu kondisi paling dekat yang bisa saya lakukan dimana saya bisa berdialog dengan Sang Pemilik Hidup. Lupa kalau sholat itu yang mengingatkan saya untuk sejenak berhenti dari hiruk pikuknya urusan dunia, sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun. Sebaliknya, tidak jarang sholat dijadikan pilihan terakhir atas buntunya solusi dari permasalahan hidup yang sebenarnya tak lebih besar dari ujung kuku.


Lakukan sesuatu karena kita sadar duduk perkara dan hakikatnya. Belajar untuk menyampaikan pesan-pesan yang bermakna positif karena apa yang kita pesankan itu memang sesuatu yang positif. Belajar untuk mengeksplorasi hal positif sebelum kita secara mudah menunjukkan sisi negatifnya. Generasi selanjutnya tidak lagi harus melakukan ibadah karena dia takut, tapi dia melakukannya semata karena cinta dan rindu pada Tuhannya.




Saya belikan jam tangan mahal untuk pasangan saya ini supaya dia nggak marah-marah sama saya. Saya takut sama dia”
Sukakah kalau kalimat itu diucapkan oleh pasangan kita terhadap kita atau kita ucapkan kepada pasangan kita? Saya jamin tidak.  Bisa jadi yang sebelumnya tidak marah justru menjadi marah.




170614

Wednesday 9 July 2014

We See A They See B


Sumber : http://vi.sualize.us/awesome_female_that_speak_thousand_silent_words_eyes_woman_portrait_face_picture_8REM.html


Ngapain sih orang kayak gitu masih dibaikin? Jangan terlalu baik jadi orang, biasanya orang baik ditinggalin karena alasan 'kamu terlalu baik buat aku' lho"
atau
"Males ah baikin orang kayak gitu"
atau
"Terlalu baik sama bego beda tipis"
atau
"Baiknya orang ada batasnya juga kali"
atau
"Ya aku baikin dia kalo dia baikin aku juga"

Pernah nggak kita dengar kalimat seperti itu di sekitar kita? Atau bahkan kita sendiri yang melontarkan kalimat itu? Atau kita yang menerima ucapan seperti itu? #mindblown

Baik dan buruk, itu beda dengan hitam dan putih. Beda dengan manis atau pedas. Beda dengan siang atau malam.
Baik dan buruk itu seperti arah, utara dan selatan. Seperti jarak, jauh dan dekat. Seperti cahaya, gelap dan terang.

Saat ini saya sedang hidup di Pulau Jawa. Bagi saya, Pulau Bali itu berada di sebelah timur. Tapi bagi kawan saya yang sedang berada di Pulau Lombok, Pulau Bali ada di sebelah baratnya. Ya bisa sih untuk mengatakan bahwa Pulau Bali itu ada di sebelah barat Pulau Jawa, karena bumi itu kan bulat. Dengan catatan kita harus memutari beeeerbagai pulau lainnya dulu. Lain lagi bagi penduduk dari Pulau Kalimantan, mereka bilang bahwa Pulau Jawa itu ada di sebelah tenggara pulau mereka. Ada yang salah nggak dari semua pernyataan di atas?

Tapi Pulau Bali itu jauh. Jauh darimana? Iya kalau kamu sedang berada di Yogyakarta dan kamu hanya memiliki akses sepeda kayuh untuk mencapai tempat itu. Tapi walaupun kamu sedang berada di luar negara Indonesia pun, tapi kamu memiliki akses tak terbatas untuk menuju Pulau Bali, kamu punya pesawat jet, kamu punya relasi, kamu punya informasi soal Pulau Bali, kamu punya kemauan untuk menuju Pulau Bali, apa iya Pulau Bali masih menjadi destinasi yang jauh untuk dituju?

Saya ingat satu kalimat yang diucapkan oleh dosen Agama Islam di kampus saya yang masih terngiang sampai detik ini: "Sesungguhnya yang paling absolut di dunia ini hanyalah Tuhan. Dan manusia adalah makhluk yang nisbi".

Nisbi menurut KBBI: hanya terlihat (pasti; terukur) kalau dibandingkan dng yg lain; dapat begini atau begitu; bergantung kpd orang yg memandang; tidak mutlak; relatif:betapa -- nya moral itu; cantik itu -- , bergantung kpd yg melihat;

Belajar dari kalimat itu, membuat saya selalu ingat untuk kembali kepada hakikat manusia. Relatif dan tergantung kepada yang melihat.

Bisa jadi sebatang lilin dan korek api yang ada di laci perkakas itu saat ini tidak ada artinya karena lampu dan keberadaan listrik di rumah sudah lebih dari cukup. Kalau saya mau pun saya bisa nyalakan semua lampu di rumah selama 7x24 jam. Lain cerita saat lilin itu disematkan di atas kue ulang tahun dan diberikan oleh orang-orang yang saya sayangi dan menyayangi saya. Cerita dari lilin, kue, dan orang-orang di sekitar saya itu tentu tidak bisa ditukar dengan lampu berdaya 1300 yang dinyalakan 7x24 jam. Alih-alih malah lampu di rumah saya yang dimatikan supaya keberadaan lilin-lilin itu terasa semakin sweet dan sinarnya cukup untuk menerangi yang penting-penting saja.

Everyone has a reason. And story behind. And also the experience. Or other's experiences.

Jadi gimana?
Fastabiqul khairat saja ya, hehehe.




290414



Sunday 4 May 2014

Marriage

Sumber : http://everynationgta.org/sermons/love-and-marriage/


Seperti biasa, malam ini saya mencuri-curi waktu sebentar di sela penyusunan skripsi 'yang masih gitu-gitu aja' untuk sekedar menuangkan persepsi. 

Topik yang saya angkat hari ini adalah tentang pernikahan.
Hari ini menjadi hari bahagia bagi kakak dari teman kuliah saya. Kakak perempuannya yang pintar dan cantik telah resmi dipinang laki-laki yang (kalau tidak salah) sudah 6 tahun menjadi pacarnya. Dengar punya dengar, mereka berdua dipertemukan saat melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata), program wajib dari kampus untuk mengabdikan diri di lingkungan masyarakat. Memang sudah bukan cerita baru lagi kalau KKN itu rentan cinlok. Cinta lokasi. Suka-sukaan karena biasa ketemuan.
Hahahaha.
Tapi tidak sedikit juga kan cinta lokasi ini yang berakhir di pelaminan? Alhamdulillah.
Ngomong-ngomong soal pelaminan, resepsi pernikahan tadi siang dilaksanakan di gedung GSP (Grha Sabha Pramana UGM). Dan jujur dari palung hati saya yang terdalam: that's the best wedding decoration I've ever seen!
Panggung pelaminan didekor sedemikan rupa, dengan tinggi mencapai (mungkin) lebih dari 4 meter. Ya mungkin sebelas dua belas sama pernikahan artis-artis di TV itu ya.
Memandangi kemegahan dan kemeriahan pesta besar yang Insha Allah hanya akan terjadi sekali seumur hidup itu (Amin), membuat pikiran saya berkelana ke sekian banyak sudut.

Ya, resepsi pernikahan adalah salah satu moment yang sangat indah dan akan kita tunggu-tunggu.
Seluruh materi, waktu, dan tenaga, akan mempelai dan keluarga usahakan semaksimal mungkin untuk dapat menciptakan hari yang berkesan. Tidak hanya berkesan untuk kedua mempelai, tapi juga untuk kedua keluarga, untuk kedua lingkungan keluarga, bahkan kalau memungkinkan untuk para tamu yang diundang. Semua harus terkesan dan ikut bahagia!
Tapi saya tersadar, ada sesuatu yang lebih besar nantinya dari sekedar kemegahan panggung, kelezatan jamuan makan, kemerduan harmoni orkestra, dan derai tawa rekan serta keluarga.
Beberapa hari setelah euforia itu berakhir, akan ada makna yang sesungguh-sungguhnya dari kalimat umum yang biasa didengar: 'menempuh hidup baru'.
Bagaimana tidak? 
Bangun dari tidur, ada seseorang yang akan muncul di depan mata. Repetitif. Begitu setiap hari. Sampai salah satu dari keduanya diambil oleh Allah, mana yang lebih dulu.
Setelah bangun, mau ke kamar mandi, mau makan, mau masak, mau nyuci, mau pakai motor, mau pakai mobil, bayar pulsa, bayar listrik, bayar air, nengok Budhe dan Pakdhe yang rumahnya jauh, menghadiri undangan aqiqah dari Kakak sepupu, memberi ucapan selamat kepada adik ipar, menemani Ibu mertua berbelanja, hadir di arisan keluarga mertua, memikirkan oleh-oleh yang lebih banyak saat liburan, daaaaaaaan masih banyak lagi.
Yap!
Akan ada aktivitas-aktivitas baru yang menjadi bagian dari hidup. Sesuatu yang baru. Yang akan mengambil porsi waktu dan pikiran. Yang akan menjadi rutinitas baru, kewajiban baru, dan pengalaman baru.
Yang mungkin akan mengeliminasi beberapa habit lama kita agar bisa beradaptasi dan bisa saling memberi dan menerima di lingkungan yang baru ini. 
Tidak bisa lagi malas-malasan untuk memasak, tidak bisa lagi untuk sering-sering berkumpul dan hangout dengan gank, tidak bisa lagi tidak peduli dengan yang lain, tidak bisa lagi untuk bersikap 'semau saya', tidak bisa lagi pergi tanpa berpamitan,  dan masih banyak tidak bisa lagi tidak bisa lagi lainnya.

Sekian lama dan sekian jauh saya berputar-putar soal makna pernikahan.
Dan yang saya dapat adalah:

"Pernikahan adalah kerelaan hati dan kemauan yang sama dari dua orang yang berbeda untuk sama-sama menjalani ketidakpastian menuju hasil akhir yang pasti. Yaitu saat salah satu dari keduanya dipanggil oleh Allah SWT, dan yang satu lainnya tetap mencintai."

Yogyakarta, 4 Mei 2014

Monday 28 April 2014

Vacation(s)!

Kalau mau tahu karakter seseorang lebih dalam, maka ajaklah dia untuk travelling!
Quote-milik-entah-siapa itu sukses berat mendorong-dorong saya untuk kembali melakukan perjalanan-perjalanan.

Ada perasaan unik ketika pergi mengunjungi suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi. Ada atau tidaknya tempat itu di deretan 'tempat-tempat yang ingin saya kunjungi' rasanya tetap saja menyenangkan. Tidak jarang saya mengiyakan ajakan mendadak dari kawan yang sebelumnya tidak terlalu dekat dengan saya untuk melakukan perjalanan. Destinasi-destinasinya belum jauh memang, tapi serunya di perjalanan itu nggak akan pernah bisa digantikan dengan apapun.

Dan memang bener kok, kita bener-bener bisa mengenal karakter orang lain saat melakukan perjalanan.
Saya pernah bepergian dengan orang yang kalo di kehidupan sehari-hari itu dia rempongnya minta ampun, tapi waktu travelling, ternyata dia adalah pribadi yang amat sangat menyenangkan. Nggak ribet, nrimo, dan irit.
Ada lagi saya pergi dengan orang yang memang aslinya sama dengan sehari-harinya. Pasif, nggak terlalu punya rasa ingin tahu yang besar, dan 'yang penting gaya aja' di media sosial. Saya tidak merekomendasikan tipikal orang seperti ini untuk diajak travelling yang 'ribet' dan 'susah' ya. Misalnya ke tempat yang bahasanya berbeda dengan bahasa asal, dengan koneksi internet yang kurang mendukung, dan sebagainya dan sebagainya.
Lho! Baru dua hal  saja ini yang saya tulis. Lainnya jauuuuh lebih banyak lagi.

Kalau disuruh milih, voucher belanja di mall senilai 10 juta atau tawaran liburan ke luar pulau, saya akan milih opsi kedua. Oke, meskipun ini hanya pengandaian dengan probabilitas keterjadiannya sangat kecil. Hahhaha.

Berikut adalah tempat impian wisata domestik yang amat-sangat-ingin-saya-kunjungi-sebelum-usia-saya-habis:
1. Karimun Jawa
Iya, meskipun pasaran, saya memang sama sekali belum pernah kesana. Rencana tinggallah rencana yang masih saja menjadi rencana. Tapi someday, I'll be there!
source: www.putrakarimunjawa.com


2. Pulau Bangka dan Belitung
Apalagi kalau bukan karena film Laskar Pelangi? Keiming-iming berat sama kerennya pantai dan batu-batu disana.
source: www.nuansamagna.blogspot.com



3. Pantai Klayar Pacitan
Soon, please. Soon! Tahun 2014 haruuus diwujudkan! Pantai ini berjarak tempuh beberapa jam saja dari kota saya, Yogyakarta
source: www.tripotindonesia.com



5. Kawah Ijen, Jawa Timur
Nah, salah satu gunung berapi di Indonesia, Gunung IJen, menyimpan kawah yang melambai-lambai untuk minta dikunjungi
source: www.tourandtravwlwisataindonesia.com


6. Tana Toraja, Sulawesi Selatan
Mau lihat pemakaman Toraja yang terkenal itu lho, juga rumah-rumah adat di sana. Ya meskipun nggak tau juga acara apa yang bisa membawa saya kesana.
source: www.bugbog.com


8. Kawah Putih, Bandung (DONE in DECEMBER 2015!)
Nah, ini kan bisa dikunjungi kalau pas kebetulan ke Bandung ya. Soon, Soon, Sooooon!
source: www.medischfun.wordpress.com


Yeaaa, hopefully I can make those dreams come true!


Yogyakarta, 29 April 2014

Autonomous









Pagi ini dibuka dengan kiriman pesan singkat dari seorang sahabat lewat line. Sebenarnya dikirim tadi malam, tapi tengah malam itu nyawa saya sudah istirahat sejenak, jadi baru kebuka paginya. Kurang lebih bunyinya begini:
"Fii, ajarin aku buat mandiri ga manja ga nyusahin ga ngerepotin orang :)"
Kaget pertama, lalu saya senyum, setelah itu baru berpikir. Bukan langsung berpikir mau jawab gimana, tapi lebih ke 'Loh, kenapa ya ini anak tiba-tiba nanya gini?'. Ada sebab ada akibat, jelas ada insiden (yang saya nggak belum tahu) yang melatarbelakangi anak ini sampai tanya hal seperti itu di tengah malam.

Hipotesa saya sih:  Sahabat saya yang satu ini sepertinya sedang merasa 'tergantung' pada orang lain, entah itu satu orang atau beberapa. Sudah gitu, dia  merasa kalau dia ini hanya merepotkan di mata orang lain. Dan dia ingin berubah.

Yang masih menjadi pertanyaan adalah: apakah keinginan berubah ini atas dasar inisiatifnya untuk menjadi orang yang lebih baik atau supaya dia tidak membebani orang yang dia pikir dia bebani?

Saya sendiri sejujurnya juga tidak bisa menjawab baik secara sbujektif, apalagi objektif. Karena menurut saya kemandirian seseorang itu relatif. Seperti halnya kesuksesan. Semua berangkat dari garis start yang berbeda. Ada orang yang dilahirkan benar-benar dari nol, serba nggak punya. Ada juga orang yang dilahirkan dari 'kelas 2', hampir memiliki segalanya. Itupun klasifikasinya akan amat sangat luas sekali. Seberapa banyak definisi 'segalanya'? Ah.... Cerita hidup masing-masing orang kan berbeda. Daya juang yang dilakukan pun sangat variatif. Maka cara pandang yang terbentuk juga akan lain. Serba nisbi.

Kembali pada kasus sahabat saya, saya hanya bisa menjawab sesuai dengan kacamata saya. Menurut saya, kemandirian itu ada karena didukung oleh keadaan dan kemauan. Bagaimana kita menepis mindset diri kita sendiri bahwa mandiri sama dengan susah. Jauhkan kalimat "Ih, kasian banget sih gue ngelakuin apa-apa sendirian" dari dalam diri kita sendiri!
Karena mandiri itu bukan yang seperti itu. Mandiri adalah bagaimana kita bisa melakukan suatu pekerjaan itu sendiri, which is meskipun nanti saat tidak ada orang lain yang membantu melakukan, kita tetap bisa melakukan. Ini juga bukan berarti kita tidak butuh orang lain. Orang lain cukup dijadikan benchmark, inspirasi, motivasi, atau apapun itu terserah kita menempatkannya.

Mandiri itu bagaimana kita tetap happy melakukan kegiatan kita secara bertanggungjawab. Based on true story, sekalinya saya tergantung pada seseorang dalam mengerjakan sesuatu, pada saat itu juga saya mengeliminasi kebahagiaan yang bisa saya ciptakan sendiri. Ketika orang lain itu tidak lagi ada untuk saya, maka saya akan merasa tidak punya kemampuan untuk melakukan sesuatu, dan justru seperti memulai semua dari nol, saya harus belajar dari awal. Malah ribet kan? Iya.....

Note: Mandiri tidak berarti selalu berkaitan dengan kemandirian secara finansial ya.

Sampai saat ini pun saya masih terus belajar untuk menghargai orang di sekitar saya yang berniat baik untuk membantu saya melakukan sesuatu. Betapa beruntungnya saya ya, dikelilingi orang yang menyayangi saya melalui cara mereka masing-masing. Maka dari itu saya merasa bahwa saya ini pun masih sering tergantung dengan orang lain, masih manja, masih harus banyak usaha untuk bisa berdiri di kaki saya sendiri.

Nggak memungkiri kalau di pikiran itu kadang muncul :
"Enak banget ya jadi si A, kalau mau sesuatu selalu ada yang bantuin. Enaknya jadi si B, nggak perlu susah-susah ngelakuin sesuatu untuk dapetin sesuatu"
Oh no, percayalah itu kalimat racun!!!
Kalimat itu akan terinternalisasi dalam diri kita, lalu terbentuk jadi mindset kita, lalu masuk lebih dalam jadi karakter kita, tidak lama kemudian dia akan mengendalikan kita untuk menjadi tergantung dengan orang lain.

Mengutip status twitter salah satu teman saya:  "orang yang benar-benar hidup adalah orang yang selalu hijrah".
Jadi ayo saling bantu orang di sekitar kita untuk hijrah ke tempat yang lebih baik dari saat ini. Jangan pernah lelah memberi perhatian pada orang di sekitar dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka. People come and go, but save them, our best supporter.

Yang paling penting adalah: Jangan malas untuk diajak hijrah! 

Yogyakarta, 28 April 2014
Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger