Thursday 21 August 2014

Dampak dari Negativisme

foto diambil dari: www.krole-zone.blogspot

Manusia melakukan apa yang dia senangi dan tidak melakukan apa yang tidak dia senangi. Padahal bukan itu hakikat manusia hidup. Jika masih seperti itu, sama saja mereka itu bayi.”
Kalimat tersebut tidak sama persis dengan yang ditulis oleh Cak Nun di bukunya yang berjudul ‘Ketika Tuhan Berpuasa’, namun kurang lebih seperti itu inti yang ingin disampaikan oleh beliau soal berpuasa. Manusia berpuasa bukan karena dia senang berpuasa atau sedang ingin berpuasa karena hendak menekan hawa nafsunya. Tetapi manusia berpuasa karena yang mereka ketahui demikianlah kewajiban mereka. Meskipun mereka tidak menyenangi puasa, tetapi mereka tetap berpuasa karena kewajiban (sebagaimana yang mereka yakini selama ini). Manusia berpuasa karena takut dosa jika tidak melaksanakannya. Takut hidupnya jadi sulit jika dia lalai akan keharusannya. Manusia diharuskan berpuasa, lalu mereka melakukan puasa karena adanya perintah tersebut, titik. Sejatinya perlu diluruskan lagi niat dan tujuannya supaya tidak salah kaprah. Kembali bertanya pada nurani, seperti itukah seharusnya?



Jangan lupa sholat, nanti Tuhan marah kalau kamu nggak sholat. Nggak mau kan hidupnya susah.”
            Tidak ada yang sepenuhnya salah pada kalimat tersebut, karena pada intinya dia (orang yang mengucapkan kalimat tersebut) menganjurkan pada kebenaran yang sesuai dengan agama Islam. Lalu apa yang menjadikannya kalimat tersebut menarik perhatian saya? Negativisme. Implikasi yang ditimbulkan dari kalimat anjuran yang baik mengapa justru kalimat yang mengandung makna negatif. Padahal kita semua tahu jika muatan positif yang bertemu dengan muatan negatif dimenangkan oleh muatan negatif. Setidaknya, kandungan positif akan berkurang sepersekian persen oleh karena adanya kandungan negatif. Kalau kata orang Jawa sih muspro, atau sia-sia. Alih-alih anak kita kelak rajin sholat karena sadar akan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, tetapi yang diingat justru ketakutannya akan hidup susah. Terlalu sayang jika Tuhan dijadikan sebagai dalih atau sebab dari kelalaian yang sejatinya datang dari diri kita sendiri selama ini.



Sudahlah, kamu bikin saja laporan keuangan ini dan selesaikan minggu ini. Kalau tidak begitu nanti Bos bisa marah.”
            Kalimat itu diucapkan oleh seorang rekan kerja pada kawannya yang menjabat sebagai Supervisor of Accounting Department. Yang benar saja, mereka digaji di perusahaan tersebut dengan gaji yang (seharusnya) memang sebanding dengan kinerja masing-masing. Jadi membuat laporan keuangan itu bukan lagi menjadi pekerjaan yang terkesan ‘ya bagaimana lagi, mau tidak mau saya harus melakukan ini’. Kadang melupa bahwa pekerjaan itu saya lakukan karena memang saya butuhkan. Saya butuh hidup, butuh pemasukan untuk menghidupi kehidupan, butuh pemasukan untuk memenangi gaya hidup yang ampun ampunan. Kalau Bos saya mau, bisa saja dia memberhentikan saya dari pekerjaan, sehingga tidak usah lagi saya menyusun laporan keuangan dan tidak usah lagi saya merasa takut dimarahi. Tapi benarkah itu kebutuhan saya? Ternyata tidak, saya hanyalah manusia yang selalu menuntut dan lupa bersyukur. Lupa akan rasa membutuhkan yang saya miliki. Dan ketika Tuhan memberikan apa yang saya butuhkan, dengan tidak tahu dirinya saya lupa akan kontraprestasi yang sudah seharusnya saya lakukan atas dasar keikhlasan hati saya.

Lupa kalau puasa itu memiliki puluhan muatan positif yang sesungguhnya ada untuk kebaikan manusia. Lupa kalau puasa itu sebagai rem atas diri sendiri yang tak jarang ‘blong’. Lupa kalau puasa memberi kontribusi pada kesehatan jasmani saya. Lupa kalau puasa memberi kesempatan pada saya untuk lebih banyak mengingat pada kebaikan dibandingkan dengan ketidakbaikan.
Lupa kalau sholat itu yang membawa diri saya pada ketenangan. Lupa kalau sholat itu adalah satu kondisi paling dekat yang bisa saya lakukan dimana saya bisa berdialog dengan Sang Pemilik Hidup. Lupa kalau sholat itu yang mengingatkan saya untuk sejenak berhenti dari hiruk pikuknya urusan dunia, sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun. Sebaliknya, tidak jarang sholat dijadikan pilihan terakhir atas buntunya solusi dari permasalahan hidup yang sebenarnya tak lebih besar dari ujung kuku.


Lakukan sesuatu karena kita sadar duduk perkara dan hakikatnya. Belajar untuk menyampaikan pesan-pesan yang bermakna positif karena apa yang kita pesankan itu memang sesuatu yang positif. Belajar untuk mengeksplorasi hal positif sebelum kita secara mudah menunjukkan sisi negatifnya. Generasi selanjutnya tidak lagi harus melakukan ibadah karena dia takut, tapi dia melakukannya semata karena cinta dan rindu pada Tuhannya.




Saya belikan jam tangan mahal untuk pasangan saya ini supaya dia nggak marah-marah sama saya. Saya takut sama dia”
Sukakah kalau kalimat itu diucapkan oleh pasangan kita terhadap kita atau kita ucapkan kepada pasangan kita? Saya jamin tidak.  Bisa jadi yang sebelumnya tidak marah justru menjadi marah.




170614

No comments:

Post a Comment

Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger