Hidup
adalah Buah dari Pilihan-Pilihan
Waktu
masih SMP, saya membayangkan jika nanti usia saya 24 tahun itu rasanya pasti
bakal sudah dewasa banget. Masih dalam bayangan saya, usia 24 nanti itu pasti
saya sudah tidak cengeng lagi, sudah mandiri dalam segala hal, sudah mantap
memilih karir, sudah bisa beli ini itu sendiri, dan..... sudah menikah! Hahaha.
Tapi
seiring berjalannya waktu dan hari ini saya telah sampai di usia 24 tahun lewat
sedikit, ternyata saya masih merasa seperti yang kemarin-kemarin saja. Masih
mudah tergoncang emosinya, masih sering merepotkan orang lain, masih
mikir-mikir dalam berkarir, masih harus berjuang hemat-hemat demi membeli
barang yang diinginkan, dan.......belum menikah! Hahahahahahhahahaha.
Menengok
ke belakang, hidup ini begitu variatif. Jatuh bangun, naik turun, babak belur,
dan berbagai perkembangan perasaan lainnya telah saya alami hingga membentuk
saya menjadi seperti hari ini. Sampai akhirnya saya menemukan satu nilai hidup;
hidup memang harus direncanakan, tapi rencana melenceng sedikit itu oke oke
saja karena Allah tahu kejutan terbaik untuk manusia. Jika kemarin saya masih
jadi orang yang terlalu ‘saklek’ dan mudah merasa kecewa terhadap putusan
Allah, maka semakin kesini saya sadar bahwa everything
happens for a reason.
Lemah
di pelajaran eksak dan itung-itungan adalah telah saya sadari sebagai
kekurangan saya sejak kelas lima SD. Nilai mencongak saya kalau tidak empat ya
maksimal tujuh. Gitu-gitu aja terus. Berlanjut sampai di bangku SMA, masuklah
saya di jurusan IPS karena nilainya tidak mampu menembus persaingan masuk IPA.
Tetapi, kok lagi-lagi saya ditemukan dengan pelajaran Akuntansi yang notabene
isinya hitung-hitungan semua! Sampai akhirnya pernah saya lontarkan kalimat “Udah ah, aku nggak mau lagi belajar
Akuntansi! Aku nggak akan daftar kuliah jurusan Akuntansi!”
Namun
takdir Tuhan berkata lain. Saya kembali dipertemukan dengan hal yang tidak saya
sukai itu dan bahkan harus mendalaminya. Keputusan aneh ini berawal dari
celetukan Ibu saya supaya saya mencoba memasukkan jurusan Akuntansi sebagai
pilihan pertama dalam ujian masuk kuliah. Saya sih dengan pede dan haqqul yaqin menuruti
saran Ibu saya, karena dalam hati saya berkata “Biarin aja, nyenengin orang tua, wong kayaknya saya nggak mungkin lolos
juga”. Lumayan surprise dan
tergagap-gagap saat mengetahui bahwa saya harus bertanggungjawab atas pilihan
itu. Habislah tujuh semester itu saya bersusah payah memahami materi-materi
kuliah yang rasanya lebih sulit dipahami dari perasaan saya sendiri.
Saat
memasuki semester akhir kuliah, saya menyadari bahwa kebebasan minim tanggung
jawab tinggal sebentar lagi. Artinya, saya sudah harus atur strategi menjelang
berakhirnya masa belajar di universitas. Dengan berjanji pada diri sendiri,
bahwa selepas wisuda harus sudah bisa hidup dengan biaya sendiri. Terdengar
materalistis ya, tapi bagi saya itulah bentuk tanggung jawab pertama yang bisa
saya baktikan terhadap orang tua sebagai rasa terima kasih atas jerih payah
mereka selama ini. Rasanya begitu campur aduk dan harap-harap cemas menanti hasil
dari setiap selesai mengikuti rekruitmen. Syukurlah saat itu masih ada jeda
tiga bulan sejak lulus ujian skripsi menuju wisuda.
Penantian
saya terjawab, tapi dalam keadaan yang sungguh tak pernah saya bayangkan
sebelumnya. Saya menerima telepon bahwa saya diterima bekerja di sebuah perusahaan yang ada di
Jakarta di........ rumah sakit! Iya, saya menerima kabar gembira itu di rumah
sakit! Waktu itu Ibu saya dirawat satu minggu karena harus operasi atas
tulangnya yang retak, terpeleset di masjid selepas subuh. Saya tidak bisa
menjawab offering saat itu juga.
Saya
menerima telepon di balkon rumah sakit. Beberapa menit setelah saya mencerna
kabar apa yang baru saja saya terima, saya kembali masuk ke kamar di mana Ibu
saya dirawat. Diam saja dan tidak membahas apapun yang berkaitan dengan
seleksi. Namun ternyata Ibu memang selalu tahu apa yang dirasakan anaknya tanpa
anaknya harus bicara. Pada saat itu juga Ibu saya menanyakan kabar
seleksi-seleksi yang pernah saya ikuti. Dengan penuh haru, kami pun berpelukan
selepas saya menceritakan bahwa lima menit yang lalu saya lolos seleksi dan
diterima kerja di Jakarta.
Saat
itulah saya sadar bahwa saya kembali harus membuat pilihan besar dalam hidup;
apakah saya akan menerima tawaran ini dan berangkat ke Jakarta dua hari setelah
wisuda atau tetap stay di Jogja dan
mencari pekerjaan lain hingga Ibu saya sembuh? Saat itulah saya merasakan betul
apa artinya keluarga. Niatan saya untuk menolak offering disanggah oleh kakak, Ibu, tante, dan om saya. Mereka
memberi pandangan bahwa Ibu saya akan sembuh sebulan dua bulan lagi, tapi
kesempatan saya tidak datang dua kali. Dan pada akhirnya saya memilih apa yang
dipilihkan oleh keluarga saya, karena
saya yakin itu adalah yang terbaik.
Lebih
dari satu tahun telah saya nikmati ibukota Indonesia. Kembali teringat bahwa
saya berada di Jakarta ini juga ada ceritanya, yaitu salah satunya karena kena
karma atas omongan saya sendiri. Di tahun 2013-2014, ketika teman sebaya sudah
merencanakan mimpi akan bekerja di Jakarta, saya adalah orang yang paling tidak
tertarik dengan Jakarta dan malas dengan bayangan kemacetan-kemacetan di sini.
“Saya sih mau mau saja kerja di luar
Jogja, yang penting jangan di Jakarta! Saya nggak mau kerja di Jakarta,
bayangin macetnya aja udah capek!”. Tapi di sinilah aku di sini sekarang.
Sungguh
malu sama Allah karena banyak kalimat-kalimat saya yang telah terucap namun mendahului kehendak-Nya. Dan yang bikin lebih
malu, kalimat itu akhirnya justru berbalik ke diri saya sendiri, dan justru
saya mendapat berkah dan rezeki dari hal yang awalnya saya benci itu. Itulah
mengapa kita tidak boleh terlalu mencintai atau membenci sesuatu, karena yang
kita cintai bisa jadi tidak baik untuk kita, namun yang kita benci justru yang
terbaik untuk kita.
Dan
kini tibalah pada saat untuk memilih hal besar bagi saya yang akan berlaku
seumur hidup. Yakni memilih pendamping hidup. Pendamping hidup yang bisa
menjadi imam, sekaligus teman, orang tua, kakak, adik, saudara, mentor, dan partner dalam segala hal. Dari sekian pilihan besar dalam hidup,
bagi saya memilih pendamping adalah yang paling rumit dan penuh dengan berjuta
pertimbangan. Perjuangan untuk mencapai ke sana pun masih samar-samar kapan
akan menemui hasilnya. Namun apapun itu, saya yakin bahwa semua akan indah pada
waktunya.
Banyak
cerita di perjalanan saya dalam menentukan ‘pilihan terakhir’ ini, yang membuat mata saya semakin terbuka lebar.
Bahwa persiapan menjalani bahtera rumah tangga bukan hanya mengenai persiapan
materi, namun juga kesiapan mental, kedewasaan diri, juga kematangan dalam berpikir.
Bagaimana dan siapakah nanti yang menjadi jodoh saya, saya akan menuliskannya
kembali di lain cerita. Yang penting jangan terlalu membenci sesuatu, dan
jangan terlalu mencintai sesuatu! Hahahaha. Tunggu kisah saya selanjutnya ya.
Jakarta, 27 Juli 2016
Jakarta, 27 Juli 2016