Senja di pinggiran Jakarta dari lantai dua.
Menjadi
Jakartans itu mudah dan tidak mudah. Hanya harus terbiasa dengan bahasa gue-elo tanpa mengindahkan batasan usia
dengan lawan bicara, pergi pagi pulang malam yang menyebabkan kita takut sama
sinar matahari, menyetir dengan gesit (alias begajulan) sampai terbentuk karakter nggak sabar dengan cara nyetir orang di Bandung atau Jogja, lalu akrab
dan bahkan hafal sama tempat ngopi
atau mall yang sophisticated karena
memang tidak ada hiburan lain yang mudah dijumpai di sini.
Menjadi
Jakartans itu harus terbiasa sabar dan tidak sabar. Bercerita tentang saat berdesakan
di commuter line bagi rakyat yang
tinggal di kota tetangga semacam Bogor, Depok, Tangerang, Jonggol... Meskipun
sering tidak sabar saat berlomba desak-desakan menaiki kereta yang telah lama
ditunggu, tapi tak ada yang lebih sabar dari pengguna commuter line untuk tetap menggunakan commuter line di pagi dan petang. Silakan coba-coba googling dengan keyword ‘commuter line Jakarta berdesakan’. Gambar itu riil dan terjadi sehari-hari lho.
Menjadi
Jakartans itu tidak boleh malas agar tetap bisa malas-malasan. Hanya orang
tidak malas lah yang berbesar hati untuk menempuh kemacetan berjam-jam demi
kebahagiaan seisi keluarga. Orang malas mana mau mengorbankan perjalanan satu
jam demi tujuh kilometer saja. Orang malas mana mau berangkat ke kantor jam
setengah enam pagi dan pulang setengah tujuh malam, dengan waktu tempuh dua
sampai tiga jam sekali jalan. Mereka tidak boleh malas supaya setiap weekend bisa malas-malasan bersama
keluarga dengan bahagia. Bermalas-malasan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
yang kesehariannya tidak malas.
Menjadi
Jakartans itu harus tahan dicela. Dicap sebagai warga yang mengagungkan kebebasan
tak berbatas, dibenci di kota-kota kecil akibat cara nyetirnya yang dianggap
ugal-ugalan dan mengganggu ketenangan, juga mengenai isu-isu ekonomi dan
politik yang ditengarai sebagian besar aktivitasnya hanya terpusat di Jakarta. Katanya,
Indonesia kan bukan hanya Jakarta!
Seperti
yang pernah ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam Tiada Ojek di Paris; Namun Jakarta
adalah teater yang terbuka. Dan benar, Jakarta sarat akan drama. Konflik dari
sifat-sifat manusia yang menjadi sumbernya tergelar kasatmata. Tapi bukankah
kita memang senang menonton teater sebagai penghiburan? Tak selamanya konflik
menjadi kedukaan, karena kadang di kemudian hari kita malah menertawakan.
Begitulah,
menjadi bagian dari teater terbuka adalah sebuah keputusan. Tapi tenang saja,
menjadi Jakartans tidak selalu kemudian melunturkan sisi kemanusiaan. Tidak selalu.
Kadang-kadang saja. Menjadi Jakartans sebaiknya tetap memelihara rasa penasaran
dengan kota-kota lain di sekitarnya, supaya tidak melupakan kehidupan sosial-politik-ekonomi
yang ada di luar sana. Menjadi Jakartans itu seru, asal tetap menjaga jati diri
yang sebenarnya.....
Jakarta, 28 September 2016
No comments:
Post a Comment