Tuesday, 15 November 2016
Wednesday, 9 November 2016
Untuk Kita yang Suka Melewati Marka
Dan
kemudian kita menjadi tahu bahwa sikap yang melampaui batas atau ‘tidak pada
ranahnya’ dapat memicu dampak yang hebat, entah menjadi lebih menyenangkan atau
menegangkan. Menginjak lantai rumah orang lain dengan sepatu kotor tanpa
permisi pasti akan mendatangkan konsekuensi, entah hanya ditegur atau sampai
dimarahi.
Yang
harus disadari adalah setiap substansi memiliki batasannya layaknya jalan raya
yang memiliki marka. Sudah berapa kali saya didenda Pak Polisi atas alasan ‘Anda
telah melanggar rambu atau marka jalan’. Tidak peduli alasan saya ‘Wah, tadi
maksud saya tidak begitu Pak’. Batasan tetaplah batasan. Pengguna lajur kiri
dilarang keras melewati garis batasnya dan mengambil jalan di lajur kanan (kecuali
dalam keadaan force majeur yang
sedang tidak saya bicarakan dalam konteks ini). Pada hakikatnya, batasan diciptakan
untuk menciptakan keteraturan dan kenyamanan bersama.
Maka
kembali menjadi perenungan bersama bahwa dalam berkehidupan sosial, apa yang terbersit
dalam hati dan pikiran tidak semuanya harus diungkapkan. Seseorang tidak kemudian
menjadi unik hanya karena mudah berkata sesuai keinginannya saja. Terkadang penting
bagi kita untuk berbagi opini dengan lingkungan yang satu circle lebih dulu sebelum melemparkannya ke luar lingkaran sosial
kita. Begitulah fungsi keluarga, rekan kerja, teman diskusi...
Seberapa
baik pun niat yang ada dalam hati, apa yang kita pikir baik untuk disampaikan
belum tentu menjadi benar untuk dilakukan. Bukan menjadi ranah saya ketika atasan
di kantor memilih untuk memakai baju warna hijau model jala-jala dipadukan
dengan sepatu merah, lalu saya pingin protes
dan mengomentarinya di depan umum. Bukan menjadi ranah saya berkomentar juga
ketika sepupu saya memilih untuk bekerja di non
profit organization dibandingkan di perusahaan swasta. Bukan menjadi ranah
saya juga ketika seorang teman memutuskan untuk memilih peran menjadi ibu rumah
tangga dan meninggalkan prestasinya di dunia kerja. Dan tetap bukan menjadi
ranah saya juga ketika saudara saya lebih memilih untuk berwirausaha
dibandingkan kerja di perusahaan orang atau menjadi PNS.
Maka
untuk kita yang masih suka melewati marka subyek yang lain, maybe better to taste our words before spit
it out (and before we regret). Penting untuk menyadari di mana posisi saat
ini kita berdiri dan memahami garis batas antar satu dan lain hal. Kita tak
pernah tau apa yang telah dialami orang lain dan apa yang menjadi keyakinan
orang lain. Kata Pak Polisi, marka jalan diciptakan supaya pengendara saling
melewati jalan yang menjadi haknya. Yang bukan haknya, jangan dilewati, guna
menghindari kericuhan yang tidak diinginkan.
Untuk orang-orang yang pernah
saya lewati markanya, mohon maaf lahir batin, saya menyesal pernah membuat
perasaannya jadi tidak enak. Semoga dimaafkan.
Untuk orang-orang yang pernah
melewati marka saya, ya sudah gak papa, gak gimana gimana. Yang sudah ya sudah.
Jakarta, 9 November 2016.
Thursday, 13 October 2016
Krisis Kehidupan Kuartal
Beberapa
waktu yang lalu ada pertanyaan dari seorang kawan di Jogja:
“Apa yang mau
kamu capai sebelum umur 30 tahun?”
Sungguh
sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab dengan cepat.
Oh ladies and gentlemen, please
give a huge welcome to quarter life crisis!
Telah
hampir seperempat abad menjalani kehidupan yang selalu terjadwal, maka kini
saatnya menjelang 25 tahun, seseorang harus mulai merencanakan hidupnya
sendiri. Diibaratkan sebagai anak panah, maka sekaranglah saatnya anak panah
itu dilepas dari busurnya untuk mencapai target yang akan dicapai. Sesukanya,
mau jadi apa saja. Kemana saja.
Dear, passion, career, and lover
(or partner?). Which one should be put on the top of our lists?
Karena
passion dan karir itu bisa berjalan
tidak beriringan, maka bebas bagi kita untuk memilih mana yang akan kita
prioritaskan untuk lakukan. Pun dengan pasangan hidup, bebas bagi kita untuk
memilih dia yang mencintai kita atau dia yang mengimbangi kita. Yang paling
penting adalah apakah yang kita pilih juga memilih kita? He he he.
Kalau
kata Pak Steve Jobs, ‘Satu-satunya jalan untuk menghasilkan karya hebat adalah
dengan mencintai apa yang anda kerjakan’. Maka berkat cinta orang tua dalam
mendidik dan membesarkan anaklah, akan tercipta seorang anak yang hebat. Berkat
mencintai kegiatan mencintai orang lain, maka akan tercipta kekasih yang hebat.
Weh....
Quarter
life crisis membawa saya dan teman lain (bagi yang masih dan sudah merasa di
fase itu) untuk berpikir mengenai hal apa yang akan didahulukan untuk
dikerjakan. Apakah kesukaan atau karir saya? Saya senang main musik, cinta
menulis, gemar berpuisi, tapi saya malas mengerjakan skripsi. Saya senang
berniaga, tapi gelar sarjana tidak penting bagi saya. Lalu bagaimana?
Sebelum
mencari dan menentukan mana aksi yang akan didahulukan, bukankah bijak bagi
kita untuk menemukan tanggungjawab sebelum menunaikan hak-hak dalam ber-passion dan berkarir. Ya nggak? Setiap orang memiliki kesukaan masing-masing,
tapi juga memiliki tanggung jawab masing-masing. Ketika seseorang berbakat di
bidang seni musik, lukis, tulis, patung,
namun melihat orang tuanya sudah berumur dan tidak lagi bekerja, apakah akan
menjadi baik baginya bila kemudian dia melulu main musik dan tidak mencari cara
untuk berdikari?
Ternyata
hidup adalah terdiri dari pemenuhan-pemenuhan tanggung jawab.
Ternyata
hidup adalah tentang aktualiasi diri.
Ternyata
hidup adalah tentang penerapan ilmu.
Passion akan menjadi lebih indah dan
bermakna ketika kita melakukannya selaras dengan tanggungjawab yang telah
dilaksanakan.
Seperti yang
selalu diajarkan oleh Almarhum Bapak saya mengenai Teori Relativitas antara
agama dan ilmu nya Pak Albert Einstein:
Science without religion is lame. Religion without
science is blind.
Jakarta, 13 Oktober 2016
Tuesday, 27 September 2016
Jakarta dan Rupa-Rupanya
Senja di pinggiran Jakarta dari lantai dua.
Menjadi
Jakartans itu mudah dan tidak mudah. Hanya harus terbiasa dengan bahasa gue-elo tanpa mengindahkan batasan usia
dengan lawan bicara, pergi pagi pulang malam yang menyebabkan kita takut sama
sinar matahari, menyetir dengan gesit (alias begajulan) sampai terbentuk karakter nggak sabar dengan cara nyetir orang di Bandung atau Jogja, lalu akrab
dan bahkan hafal sama tempat ngopi
atau mall yang sophisticated karena
memang tidak ada hiburan lain yang mudah dijumpai di sini.
Menjadi
Jakartans itu harus terbiasa sabar dan tidak sabar. Bercerita tentang saat berdesakan
di commuter line bagi rakyat yang
tinggal di kota tetangga semacam Bogor, Depok, Tangerang, Jonggol... Meskipun
sering tidak sabar saat berlomba desak-desakan menaiki kereta yang telah lama
ditunggu, tapi tak ada yang lebih sabar dari pengguna commuter line untuk tetap menggunakan commuter line di pagi dan petang. Silakan coba-coba googling dengan keyword ‘commuter line Jakarta berdesakan’. Gambar itu riil dan terjadi sehari-hari lho.
Menjadi
Jakartans itu tidak boleh malas agar tetap bisa malas-malasan. Hanya orang
tidak malas lah yang berbesar hati untuk menempuh kemacetan berjam-jam demi
kebahagiaan seisi keluarga. Orang malas mana mau mengorbankan perjalanan satu
jam demi tujuh kilometer saja. Orang malas mana mau berangkat ke kantor jam
setengah enam pagi dan pulang setengah tujuh malam, dengan waktu tempuh dua
sampai tiga jam sekali jalan. Mereka tidak boleh malas supaya setiap weekend bisa malas-malasan bersama
keluarga dengan bahagia. Bermalas-malasan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
yang kesehariannya tidak malas.
Menjadi
Jakartans itu harus tahan dicela. Dicap sebagai warga yang mengagungkan kebebasan
tak berbatas, dibenci di kota-kota kecil akibat cara nyetirnya yang dianggap
ugal-ugalan dan mengganggu ketenangan, juga mengenai isu-isu ekonomi dan
politik yang ditengarai sebagian besar aktivitasnya hanya terpusat di Jakarta. Katanya,
Indonesia kan bukan hanya Jakarta!
Seperti
yang pernah ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam Tiada Ojek di Paris; Namun Jakarta
adalah teater yang terbuka. Dan benar, Jakarta sarat akan drama. Konflik dari
sifat-sifat manusia yang menjadi sumbernya tergelar kasatmata. Tapi bukankah
kita memang senang menonton teater sebagai penghiburan? Tak selamanya konflik
menjadi kedukaan, karena kadang di kemudian hari kita malah menertawakan.
Begitulah,
menjadi bagian dari teater terbuka adalah sebuah keputusan. Tapi tenang saja,
menjadi Jakartans tidak selalu kemudian melunturkan sisi kemanusiaan. Tidak selalu.
Kadang-kadang saja. Menjadi Jakartans sebaiknya tetap memelihara rasa penasaran
dengan kota-kota lain di sekitarnya, supaya tidak melupakan kehidupan sosial-politik-ekonomi
yang ada di luar sana. Menjadi Jakartans itu seru, asal tetap menjaga jati diri
yang sebenarnya.....
Jakarta, 28 September 2016
Saturday, 17 September 2016
Mana Advis Yang Akan Kamu Terima: ?
Dalam hidup ini banyak advis yang
pernah kita dangar dan baca, baik itu dari orang yang kita kenal maupun dari
anonim yang antah berantah dari dunia maya. Tapi tak jarang, quotes-quotes yang
kadang berhasil membuat saya ‘sadar diri’ sesaat itu dengan mudahnya
mengombang-ambingkan saya untuk mengamini satu hal di satu waktu, dan lain hal
di lain waktu.
Advis A: Pasangan hidup itu harus
saling melengkapi, untuk itulah kehidupan akan menjadi sempurna. Misal ada orang dengan pengetahuan
agama yang dirasa belum begitu baik, maka carilah pasangan yang pengetahuan
agamanya lebih baik, supaya dapat menjadi lebih baik. Jika kamu orangnya susah
mengontrol emosi, kamu harus cari orang yang sabar dan bisa mengontrol emosi
kamu.
Advis B: Pasangan hidup itu bukan dari
dua orang yang saling melengkapi, tapi dari dua orang yang sama karakternya dan
mau bekerja sama. Kalau hanya saling melengkapi, maka hubungan kalian nggak
akan kemana-mana.
Karena kalau yang satu sholat dan yang
satu nggak sholat? Capek dong yang satu harus ingetin terus pada pasangannya
untuk sholat. Yang ada, pasangan yang memang sudah sholat ini malah nggak
meningkat kualitas kehidupannya karena tidak dihadapkan dengan pasangan yang
seimbang. (Contoh diambil dari film Sabtu Bersama Bapak).
Advis A: Belajar melupakan persoalan
dengan membuang semua kenangan mengenai persoalan tersebut sampai hal terkecil
sekalipun. Buang semua hal yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
Advis B: Belajar melupakan persoalan
dengan menghadapinya lebih sering, dengan tidak menolak kenyataan, dengan tidak
menghindari persoalan tersebut dengan segala asam pahit nya. Maka lama-lama
kamu akan kebal.
Advis A: Dalam berumahtangga, mutlak
kalian harus bersama di satu sampai lima tahun pernikahan, karena di situ
adalah tahun-tahun rawan persoalan besar.
Advis B: Dalam berumahtangga, di
awal-awal pernikahan karena masih dalam tahap berjuang, maka untuk sementara
saling berjauhan itu tidak apa, toh untuk masa depan juga.
Advis A: Buatlah goals dalam
hidupmu secara detail, kalau perlu tuliskan di secarik kertas dan tempelkan di
tempat-tempat yang paling sering kamu lihat.
Advis B: Hidup itu tidak usah
pakai goals-goals an, udahlah, hidup aja apa adanya yang
penting lakukan yang terbaik setiap mengerjakan sesuatu. Bisa jadi yang kita
dapatkan justru lebih besar dari yang diharapkan. Tidak mencapai goals justru
bisa membuat kamu down.
Advis A: Pilih-pilihlah dalam berteman,
jangan mau berteman dengan semua orang karena kamu harus menjaga lingkunganmu
agar tetap baik dan tidak tercemari oleh hal-hal yang tidak baik.
Advis B: Bertemanlah dengan semua
orang, supaya kamu bisa belajar banyak hal. Supaya kamu juga tau benar mana
yang baik dan mana yang kurang baik untuk dilakukan.
Advis A: Bagaimana kita bisa mengenal
karakter orang lain kalau tidak dari pacaran dulu sebelum menikah?
Advis B: Pacaran itu tidak perlu karena
pengenalan karakter itu bisa dilewati tanpa melalui tahap pacaran.
Advis A: Untuk apa kamu punya banyak
uang tapi jarang sekali bertemu keluarga?
Advis B: Kamu harus menabung dan
pintar-pintar cari uang untuk masa depanmu. (Dan akhirnya mau tak mau harus
mengorbankan sedikit waktu bersama keluarga).
Advis A: Ikutilah kata hatimu, karena
kata hati tidak pernah berbohong.
Advis B: Jangan hanya andalkan kata
hatimu, karena kata hati dan hawa nafsu itu beda tipis. Meski tidak semua hal
bisa dilogika, tapi hanya mengandalkan kata hati dalam bertindak itu berbahaya.
Seperti ABG yang menuruti kata hatinya untuk lebih memilih tawuran daripada
membaca buku.
Dan advis-advis lain yang tidak bisa
saya tuliskan satu per satu di kesempatan yang seadanya ini. Begitulah, hidup
itu terdiri dari banyak pintu. Tinggal pintu mana yang dirasa paling tepat
untukmu. Mendengarkan nasehat orang lain itu penting, tapi mendengarkan semua
nasehat itu akan menghambat untuk memutuskan sesuatu yang penting.
Monday, 5 September 2016
Kumpulan #VisitBandung
Bandung menjadi pilihan menarik bagi warga Jakarta maupun luar Jakarta lainnya untuk melepas penat dan sekedar mencaari penyegaran. Bagi saya pribadi, Bandung itu seperti Jogja. Kota kecil yang lengkap dan punya segalanya; punya wisata alam, wisata budaya, wisata kuliner, juga mall serta wahana bermain. Eh lebih keren Jogja deng ya, punya gunung berapi dan deretan pantai yang keren abis. Hahahahahaha nggak mau kalah.
Berikut beberapa tempat di Bandung yang pernah saya kunjungi setelah beberapa kali ke Bandung:
Kawah Putih Ciwidey
Mohon maaf jika semua foto pemandangan ada objek manusianya, karena saya belum menemukan kembali kumpulan foto yang berisi liburan ke Bandung kemarin. Untuk menuju Kawah Putih ini saran saya gunakan kendaraan pribadi saja, karena saya tidak melihat kendaraan umum berlalu lalang menuju ke sana. Dari kota, kami membutuhkan sekitar dua jam untuk mencapai tempat yang indah itu. Meskipun bau belerang tercium tajam, namun pemandangan yang sangat cantik untuk diabadikan dalam foto mendorong saya untuk lebih sabar menahan napas.
Jangan lupa bawa payung! Karena meski saat itu bukan musim hujan, namun hujan rintik-rintik turun berkali-kali. Meski terlihat berkabut, namun tempat ini tidak sedingin yang saya bayangkan. Tetapi bagi yang tidak tahan dingin, silakan bawa jaket atau sekedar pashmina untuk menghangatkan badan.
Tebing Keraton
Untuk menuju Tebing Keraton juga direkomendasikan membawa kendaraan sendiri karena tidak ada angkutan umum di sana. Selain itu, orang-orang ke Tebing Keraton pasti mengejar sunrise. Sayang seribu sayang, karena sampai di lokasi sudah pukul enam pagi dan kala itu mentari telah terbit, maka tiada foto menarik yang didapatkan. As long as bisa jalan dari subuh dan sampai lokasi sebelum matahari terbit, maka ditemani kabut bergulung-gulung itu saya yakin foto yang didapat pun akan sangat syahdu...
Inilah akibatnya kalau jalan kesiangan:
Kebun ini masih di daerah Tebing Keraton. Aslinya kebun itu hijau banget dan memanjakan mata. Pesan saya, hati-hati kalau mau foto di sini ya. Jangan terlalu alay dan merusak tanaman di sana! Hal yang nikmat dilakukan pagi hari di kala menikmati pemandangan kebun hijau membentang yaitu... makan indomie! Hahaha. Beneran deh. Kebun ini kami temukan setelah kami makan indomie di sebuah warung gubuk. Jadi kebun ini terletak di belakang warung gubuk yang jualan indomie.
Kebun Bunga Begonia
Turun dari Tebing Keraton, tidak jauh dari situ kita bisa mengunjungi tempat lainnya yang sama seru dan cantiknya. Yaitu Kebun Bunga Begonia. Hanya dengan sepuluh ribu rupiah, kita bebas foto-foto di kebun bunga yang memang dibudidayakan khusus untuk tujuan wisata ini.
Breathtaking view banget di sini. Cantik-cantik bangeeeeet bunganya. Bikin yang difoto juga ikutan cantik! Hahahaha berharap banget ya Bu. Tak akan menolak kalau diajakin ke sini lagi!
Tangkuban Prahu
Tak jauh berbeda dengan wisata di Dieng yang saya lupa namanya itu. Bau belerang akan mendominasi di sekitar sini, maka bersiaplah membawa masker atau beli di sana. Selain itu, payung adalah benda yang wajib dibawa ke sini karena intensitas hujan yang cukup sering. Suasanya sejuk, sangat sejuk malah. Bersabarlah untuk menunggu jika kabut masih tebal, karena tak berapa lama akan terlihat jelas pemandangan di bawah.
Tuh kan, kabutnya masih cukup tebal, padahal waktu itu sudah pukul 10.00 pagi. Memang dingin, tapi tak usah berjaket tebal pun dinginnya masih bisa ditahan. Nah, tepat di belakang saya itu terdapat warung-warung yang menjajakan berbagai kuliner khas pegunungan. Harus cobain tahu isinya!!! Ya ampun enak banget waktu itu. Entah karena lapar atau apa, tapi tahu isinya tuh enak banget. Jika suatu saat nanti berkesempatan kesini lagi, tujuan pertama saya adalah membeli tahu isi. Ditambah indomie juga boleh.
Kabut yang tebal menutupi pandangan. Tapi meski demikianpun, masih tetap cantik kok pemandangannya untuk dinikmati. Makin seru lagi kalau pakai drone kali ya foto-fotonya.
Naaaah, kabut pun sudah menghilang sedikit demi sedikit, maka tengoklah ke bawah.
Have a nice trip!
Sunday, 4 September 2016
Weekend di KualaLumpur 3D2N Tanpa Cuti
Perjalanan
ini adalah perjalan singkat dan sangat mendadak. Keputusan untuk join jalan ke Kuala Lumpur
dilatarbelakangi oleh sifat kekanakan saya yang akhirnya keukeuh dan nggak mau kalah, tetep mau ikut Kakak dan Ibu saya yang
sudah merencanakan pergi ke KL sejak lama. Sayangnya sebagai anak kantoran yang
masih newbie, saya segan untuk
mengajukan cuti meski untuk setengah hari saja.
Jadilah saya nekat mengambil tiket penerbangan hari Jumat pukul 21.00.
sedangkan Kakak dan Ibu saya sudah sampai di KL sejak hari Kamis.
JUMAT, 2 Oktober 2015
H-2
saya baru membeli tiket pesawat, dan H-1 baru saya membeli tiket hostel untuk
hari pertama. Jadi di Jumat malam setelah dari bandara, saya memutuskan akan
menginap di hotel terdekat dari bandara saja, karena keluarga menginap di
daerah kota, Bukit Bintang. Saya pikir-pikir kembali, dulu saya bener-bener
nggak mikir deh kayaknya, kok bisa-bisanya nekat mau nginep sendiri padahal sampai
di KL bakal tengah malam. Tapi namanya juga itikad. Maju terus pantang mundur,
komandan! Sejak pukul 18.30 sudah ada di bandara dengan ransel dan tas jinjing
kecil semata wayang. Single fighter!
Saya
lupa dan bener-bener lupa kalau ada perbedaan waktu antara Indonesia dan KL.
Jadi flight agak mundur sejam dan saya
sampai sana itu jam 01.00 waktu KL. Ehem.
Saya speechless karena tak
membayangkan bakal sampai sana se-tengah malam itu. Iseng punya iseng, saya
beranikan diri nanya ke Mbak-Mbak cantik di sebelah saya, bagaimana cara
memilih taksi resmi dan aman di bandara. Dan keajaiban itu datang. Dengan
sebelumnya menunjukkan keterkejutannya yang teramat sangat atas kenekatan saya,
dia pun menawari dan setengah memaksa saya untuk diantar olehnya dan pacarnya
sampai ke hostel di daerah Sepang. Mereka bilang daerah Sepang itu rawan dan
berbahaya, apalagi tengah malam begini. Syukurlah. Jadi pacar Mbak-Mbak itu
orang KL, jadi dia dijemput naik mobil dan saya pun diantar oleh mereka sampai
ke hotel. Ya ampun, tak hentinya saya bersyukur atas kebaikan yang mereka
berikan ini.
Nah,
alasan saya memilih hostel backpacker, itu
karena saya menyadari bahwa saya hanya membutuhkan tempat transit saja, which is tidak lebih dari tujuh jam.
Setelah melalui penyaringan sana sini saya memutuskan untuk memilih “The Youniq
Hotel” di daerah Salak Tinggi Business Park, Sepang. Sebenarnya mereka
menyediakan kamar normal, tapi kembali lagi karena saya hanya butuh beberapa
jam saja sendirian, maka saya memilih shared
dormitory room (women only). Waktu itu saya dapat harga Rp 196,086 per
malam, termasuk breakfast! Senengnya
di sini adalah, breakfast nya lumayan
banyak, tidak hanya roti dan selai saja. Kekurangan dari tempat ini adalah
daerah sekitarnya itu sepi, dan gelap. Jadi hotel ini benar-benar hanya
direkomendasikan untuk transit saja.
Kasurnya cukup empuk, masing-masing bed ada locker pribadi dan kunci. Juga disediakan colokan listrik. Koneksi wifi juga masih bisa diandalkan meskipun mati nyala mati nyala. Keberuntungan saya lainnya yaitu dari sepuluh bed yang ada di situ, isinya hanya saya! Hihihi. Jadi semalam itu saya benar-benar menikmati kesunyian sendiri. Cailah. Tapi nyaman kok, ber-AC. Sayangnya tidak ada penutup bed ya, jadi saya membayangkan kalau sedang ada beberapa orang di kamar itu, sepertinya kurang nyaman kalau tempat tidurnya pun tidak ada penutup.
Ini
toiletnya. Ada pintu tersambung di ujung ruangan itu, menuju toilet yang juga
khusus wanita. Lumayan bersih juga, ada air panas, tapi tidak besar.
Sayang
sekali saya lupa ambil foto menu sarapan pagi itu. Tapi lumayan lho, dengan
harga yang saya bayar masih dapat sarapan yang bisa memilih, antara
roti-rotian, laksa, atau kah bubur. Tempat makannya juga nyaman banget dan cukup luas. Selain itu, desain lobi hotelnya meski tidak terlalu luas tapi cukup menarik untuk foto-foto.
SABTU, 3 Oktober 2015
Pukul tujuh
pagi saya sudah bersiap check-out dan
menuju ke hotel Kakak dan Ibu saya di daerah Bukit Bintang. Tujuan saya yaitu
stasiun MRT terdekat, yaitu Stasiun Salak Tinggi. Karena tidak ada taksi yang
berlalu lalang, (kawasan di depan hotel itu seperti ring road, atau jalan tol deh. Jadi di sekitar hotel hanya ada
hotel-hotel lain yang seukuran. Tidak ada pemukiman. Mau tidak mau, saya harus
menggunakan taksi hotel yang kalau dirupiahkan jadi sekitar Rp 100.000 dari
hotel ke stasiun Salak Tinggi. Mengingat bapak supirnya adalah bapak-bapak
berwajah India gitu, agak deg-degan lho waktu naik taksi! Apalagi lewatnya daerah
yang penuh semak-semak. Hiiii. Hanya bisa berdoa dan berdoa.
Stasiun Salak
Tinggi, stasiunnya kecil, tidak ramai, tapi bersih.
Horeee,
sekitar satu jam menikmati perjalanan, saya sudah sampai di Stasiun Bukit
Bintang. Ini lingkungan yang saya lihat sepanjang keluar kereta sampai ke jalan
raya:
Lucunya,
pemandangan pertama yang saya temui di jalanan selepas turun dari kereta adalah
pembangunan jalan sedang berlangsung, dan girder
yang mereka gunakan adalah merek yang kantor saya jualan. Hahahaha. Nggak
di kantor, nggak di KL, kok ya ketemunya MHE-Demag!
Finally!
Setelah muterin blok di sekitar sini selama beberapa puluh menit, saya pun
menemukan hotel yang sangat kucari-cari ini. Kakak dan Ibu saya menunggu-nunggu
di lobi hotel yang terlihat seperti akuarium karena transparan. Rasanya bahagia
campur haru, ingin menangis karena akhirnya ketemu mereka lagi tapi di negara
lain. Huhhh dasar lebaay. Daerah Jalan Alor, Bukit Bintang ini menjadi daerah favorit para
pelancong karena melimpahnya tempat kuliner di sini.
Setelah
menimbang dan memutuskan, jam 10-an kami pun memutuskan untuk keluar entah
kemana. Karena sifat kunjungan adalah dadakan dan minim browsing, kami asal aja menentukan tujuan, yakni ke daerah Central
Market. Kami turun di Stasiun Pasar Seni.
Central Market
Central Market
ini seperti pasar modern, yang didalamnya dijual bermacam oleh-oleh dan
kerajinan. Juga coklat-coklat. Kami membeli semua coklat oleh-oleh di sini.
Barang yang dijual sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia,
tapi lumayan asik daerahnya.
Sayang sekali di hp saya tidak
ada foto-foto isinya Central Market. Waktu itu ada di hp Ibu saya, tapi saat
ini hpnya sudah mati karena terendam es teh! Hahaha. Selepas lelah
berjalan-jalan, Ibu saya yang sudah mulai lapar mulai menengok dagangan di sekitar.
Beliau tergoda oleh sebuah restoran yang ada stiker tripadvisor di depan.
Artinya, restoran ini boleh dicoba dong. Namanya restoran “Yusoof dan Zakhir”.
Dan memang benar! Harus dicoba lagi kalau balik ke sini.
Saya lupa banget nama menunya
apa, tapi bagi kalian yang bisa mentolerir makanan bersantan, ini surga dan
enak! Apalagi minumnya sama milo Malaysia yang terkenal beda rasanya dengan
Milo Indonesia itu. Hmmm.
Petaling Street
Perjalanan selanjutnya adalah
Petaling Street, yang ternyata tidak jauh dari situ. Cukup berjalan kaki saja.
Isinya ya lagi-lagi orang jualan berbagai macam benda!
Batu Caves
Meskipun hari sebelumnya Ibu dan
Kakak saya sudah ke Batu Caves, tapi karena saya pengen banget foto bareng
burung merpati di sana, akhirnya mereka menemaniku ke Batu Caves. Dari Stasiun
Pasar Seni naik kereta, tapi saya lupa turun di stasiun mana. Hihihi.
Menara Kembar Petronas
Setelah dari Batu Caves, si Ibu memutuskan untuk pulang
duluan ke hotel, dan saya lanjut ke Menara Kembar Petronas. Rasanya tidak
afdhol ya kalau ke KL tapi belum ke menara kembar tersohor ini. Btw untuk bisa
mengambil foto itu, diperlukan perjuangan keras lho, karena buaanyaknya orang
yang berjajar-jajar di sana. Hahahaha.
Untuk
menuju hotel kembali, kami menggunakan bus GOKL yang notabene gratis! Hihihi.
Bus nya berwarna pink ke-unguan ini.
Street Food – Jalan Alor
Ini dia kondisi Jalan Alor di malam hari dari atas hotel.
Hmmmmm. Yang di bawah berderet itu mobil-mobil yang diapit kursi dan meja
penjual makanan lho! Melimpah dan tinggal pilih pokoknya.
Minggu, 4 Oktober
2015
Hanya semalam saja saya menginap
di daerah Bukit Bintang ini. Keesokan harinya kami harus check-out. Kami menginap di Nova Hotel, dengan fasilitas sarapan.
Hotelnya sepertinya sudah cukup tua, dan furnitur-nya tidak terlalu baru. Tapi
sekali lagi karena tertolong oleh lingkungan yang asik, jadi saya fine-fine saja.
Putrajaya
Karena masih ada waktu beberapa
jam, kami memutuskan untuk mampir sebentar ke Dataran Merdeka, Putrajaya.
Lumayan lah untuk sekedar mengisi waktu dan berfoto-foto.
Demikian akhir dari perjalanan
ini. Saya harus kembali ke Jakarta, dan Ibu serta Kakak saya terbang lebih dulu
menuju kampung halaman, Jogja! Buat saya piknik yang singkat ini sangat
menyenangkan. Liburan bersama keluarga benar-benar membawa kesegaran tersendiri
bagi saya. Kami menjadi lebih kompak, merasakan susah senang bersama-sama.
Semoga masih ada kesempatan-kesempatan berikutnya ya, siapa tahu tahun ini atau
tahun depan personilnya nambah! Hahahahaha.
Kuala Lumpur Airport
Makan dulu sebelum pulang di Papa Rich. Laksanya enak, yang foto atas rasanya... tak ingin mengulangi lagi! Hahahahah.
Subscribe to:
Posts (Atom)