Bagi saya saat ini, menikah tidak semudah yang saya bayangkan setahun yang lalu. Jika kemarin saya menganggap diri saya telah siap lahir batin dengan hidup yang baru, namun sekarang tidak demikian. Saya telah mundur beberapa langkah untuk dapat melihat objek pernikahan secara lebih gamblang. Dan saya menyadari, bahwa setahun yang lalu Allah menyelamatkan saya dari keputusan yang tergesa. Allah ingin saya menjadi pribadi yang lebih matang dulu. Saya masih harus banyak mencari bekal untuk mengarungi perjalanan kelak.
Entah mana yang benar, tapi dalam benak saya tersadar, bahwa sebenarnya yang menikah itu kedua keluarga. Bukan (hanya) sepasang wanita dan pria. Telah banyak fenomena yang saya lihat, baik dari orang yang saya kenal maupun hanya sekedar 'kenalannya teman', bahwa banyak terjadi kegagalan pernikahan yang disebabkan ketidaksetujuan salah satu pihak keluarga, atau bahkan kedua keluarga. Padahal kedua anaknya tidak ada masalah sama sekali, dan bahkan saling mendukung dan menerima.
Orang tua memiliki porsi yang sangat besar dalam menentukan masa depan anaknya. Bahkan jodohnya. Jadi, keberhasilan orangtua saya berumahtangga merupakan keberhasilan dari orangtua mereka dong ya? Karena saya tahu bahwa keputusan Ibu saya akhirnya memilih Bapak saya merupakan anjuran dari Kakek saya setelah melihat dari banyak pertimbangan, dan pasti itu yang terbaik dari yang baik.
Namun pun, meski sudah melalui berbagai filterisasi dari banyak sisi, kemantapan hati tak bisa dirumuskan secara matematis untuk mendapatkannya. Bisa jadi menurut kita orangnya sudah santun, agamanya baik, hubungan dengan teman juga baik, bisa diandalkan untuk mencari materi, tapi sekali orang tua tidak setuju, maka sirna sudah, harus kembali gerilya mencari kandidat lain.
Bagi saya, Tuhan memberikan petunjuk-Nya melalui orang tua. Saya bahagia menjalani sesuatu yang membahagiakan orang tua saya. Saya menjadi ikut menyukai apa yang orang tua saya sukai. Dan disitulah bekal saya dalam memilih pendamping hidup kelak. Saya tidak tahu bagaimana sepenuhnya diri saya. Orang tua saya lebih tau. Saya memutuskan untuk tidak menaruh rasa pada siapapun saat ini. Saya berusaha untuk menyimpan rasa ini pada dia yang akan menjadi pendamping hidup saya kelak. Dia yang memberi ketenangan pada keluarga saya ketika saya kelak akan menjadi bagian dari tanggung jawabnya.
Maka bagi saya, tidak ada yang lebih membahagiakan dari sepasang suami istri yang orang tua dari kedua belah pihak meridhoi kedua-Nya. Dan saya bercita-cita menjadi yang terbahagiakan itu. Toh saya rasa kriteria yang orang tua saya patokkan juga tidak jauh berbeda dengan apa yang saya harapkan. Perbedaan lainnya semoga masih bisa dinegosiasikan.
Melihat teman satu persatu menikah tidak membuat saya semakin ingin untuk menikah. Justru sebaliknya. Perasaan saya semakin tak menentu saat melihat dan terlibat dalam menyiapkan acara pernikahan. Saya semakin merasa belum pantas untuk menyandang gelar nyonya di waktu-waktu sekarang. Saya masih belum menemukan keberanian untuk memilih satu di antara yang serius menawarkan masa depan pada saya. Saya masih memikirkan bagaimana Ibu saya akan membiayai acara pernikahan nanti. Saya masih berangan untuk bisa memberangkatkan umroh Ibu saya. Sedangkan tabungan masih di ambang batas bawah. Banyak hal-hal materialistis yang masih menjadi pikiran saya. Dan bagi saya itu realistis. Atau sebenarnya pesimistis dan mencoba permisif terhadap kepercayaan saya saat ini?
Kapanpun itu waktu saya akan tiba, saya berdoa semoga masih ada waktu bagi saya untuk menyiapkan yang terbaik bagi kedua keluarga. Keluarga saya dan keluarga calon suami saya kelak. Ketika kedua keluarga telah merasa mendapatkan menantu terbaik, maka saya yakin benar bahwa calon suami saya saat itulah yang terbaik bagi saya. Dan kami akan berjalan dengan tidak ada lagi keraguan keraguan.
Disemogakan.
Jakarta, 6 Agustus 2016
*Tulisan ini ditulis oleh penulis secara sangat subjektif
*Tulisan ini ditulis oleh penulis secara sangat subjektif
No comments:
Post a Comment