Wednesday, 31 August 2016

Harga Seserahan Semakin Tinggi, Jendral!



Pembahasan seru yang terjadi sebelum istirahat makan siang tadi masih melekat di ingatan saya yang tak seberapa ini. Sebut saja Pasaribu dan Tobing, kedua teman satu departemen saya yang asli bibit Batak ini sedang saling mencurahkan isi hati secara sengit akan tingginya harga sinamot dari tahun ke tahun. Kedua pria yang masih setahun dua tahun kerja ini seketika uring-uringan jika saya dan Bu supervisor (Bu Supervisor juga kebetulan orang Batak), membahas tema seserahan dalam pernikahan.
Dalam adat Batak, sinamot adalah harga atau uang yang dipersembahkan oleh mempelai pria pada mempelai wanita. Contohnya, sinamot untuk artis Astrid Tiar sebesar 150 juta rupiah. Juga untuk Riris Duma Silalahi istri penyanyi Judika. Besar kecilnya nilai sinamot bergantung pada berbagai aspek, yakni; pendidikan, pendapatan, keturunan, dan mungkin… kontur wajah! Hahahahaha. Tidak ada passing grade yang baku mengenai hal ini, tapi semua akan bermuara pada hal-hal di atas. Tentu nilai yang mencengangkan itu membuat kedua kawan seperjuangan saya itu makin tak ikhlas membayangkan biaya biaya pernikahan yang harus mereka pertanggungnkan ke depannya.
Secara teoritis memang nilainya bisa dinegosiasikan melalui musyawarah secara mufakat, namun pada praktiknya ternyata ada juga pernikahan yang tidak jadi dilangsungkan karena setelah melalui pertimbangan dan pengukuran tetap tidak menemui titik deal rate masing-masing.
Sama halnya dengan adat Jawa, pihak pria memiliki kewajiban untuk memberikan seserahan dan mahar yang ‘dianggap layak dan cukup’ (dan kalau bisa mentereng) kepada pihak wanita demi kemaslahatan dua pihak. Dengan memberikan seserahan yang prestisius dan bernilai ciamik, pihak mempelai pria akan dianggap sebagai pihak yang benar-benar sudah mampu dan pantas untuk mengambil alih peran orangtua daripada mempelai wanita. Mempelai wanita pun akan dianggap lebih 'berharga’ oleh sanak saudara dan kerabat ketika dirinya ditebus dengan nilai seserahan yang tinggi. Meskipun tak ada sertifikat setara ISO mengenai meningkatnya derajat kemanusiaan atas tingginya nilai jual di lingkungan sosialnya.
Pening juga ya jadi pria mau itu Jawa atau Batak atau Bugis atau bahkan tak bersuku sekalipun ketika memiliki rencana besar untuk meminang seorang wanita. Benar kata teman saya Tobing itu.
“Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar kata pernikahan?”
“Ya ikatan yang sakral, seumur hidup sekali, resepsi, foto-foto, perjuangan….”
“Kau mau tahu apa yang kami para pria pikirkan saat mendengar kata pernikahan?”
“Apa tuh?”
“Biaya!!!!!!!!!!!!!!”
Selanjutnya bisa ditebak bahwa jawaban darinya tersebut tidak bisa saya jawab kembali demi mencoba memahami isi hati tetangga kubikel saya ini.
Dalam hati saya hanya berkata “Oh, gitu ya. Iya juga ya…..”
Ingat, menikah adalah bersatunya kedua keluarga, bukan hanya dua insan saja. Jadi meskipun mempelai pria dan wanita sudah bersepakat bulat untuk menyederhanakan nilai mahar alias sinamot alias panaik alias upeti namun ada satu pihak keluarga yang belum satu suara, maka nada yang keluar belum bisa terdengar merdu.
Dengan demikian telah sampailah saya pada satu kesimpulan yang hakiki bahwa mengapa orang zaman dulu kekeuh dengan bibit, bebet, dan bobotnya, ya salah satunya supaya kedua keluarga lebih mudah menyamakan suara menjadi nada nada yang harmoni. Intinya biar mudah sepakat!
Dengan keluarga yang sama sama suka hal simpel dan sederhana asal halal dan pantas serta cukup, maka seberapapun akan dianggap cukup. Seberapapun akan diterima dengan ikhlas, karena nilai seorang manusia sungguh tak bisa dibandingkan dengan emas batangan lima ratus gram dan berjejer kosmetik korea dan sepatu plus tas eropa. Mereka tak akan mempersulit pihak pria dengan deretan persyaratan mahar yang jika dikalkulasikan bisa seharga rumah dua kapling tipe tiga enam.
Dan wejangan yang tak lekang oleh waktu kepada kaum pria: hendaklah mematut diri sebelum mengajukan proposal kepada pihak wanita. Jangan pula kau minta orang tua pihak wanita memberikan anaknya padamu secara cuma cuma namun kau sendiri mengurus diri sendiri pun tak bisa! Jika memang kemampuan finansial masih sebatas 'cukup untuk makan dan sedikit menabung’, maka bolehlah menambah kebisaanmu di bidang lain. Dengan memperkaya ilmu pengetahuan agama, ilmu pengetahuan alam, sekaligus ilmu pengetahuan sosial, mana tahu menambah poin dirimu di mata bapak ibu di doi.
Semua pasti masih bisa dinegosiasikan. Asal kedua keluarga mengenal konsep negosiasi ya, bukan harga pas! Hahaha.

No comments:

Post a Comment

Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger