Monday, 24 June 2019

Persiapan Lamaran (1) of 2





Tujuan dari menuangkan cerita ini ke dalam tulisan hanyalah sebagai pengingat pribadi saja. Jika ada teman-teman, siapapun  yang kebetulan membaca, ambil baiknya (kalau ada) dan buang buruknya ya. Hehe.

Menentukan Waktu dan Anggota Keluarga
Bermula dari hubunganku dengan teman dekatku saat itu sudah cukup dikenal orangtua, kami mulai berpikir mau dibawa kemana arah dan tujuannya. Karena toh memang kami tidak ada pacaran dan tembak-tembakan, tidak ada romansa sebelum jalinan yang resmi. Tahu tahu setelah pertemuan keluarga di 13 Juni 2018, diputuskan untuk diadakan lamaran di tanggal 23 Juni 2018. Ya sudah, anggap saja jadiannya di tanggal lamaran itu saja. Jadian di depan umum. Hahahaha.

Kebetulan lebaran jatuh pada tanggal 15 Juni 2018, sehingga saudara yang datang dari jauh sedang sama-sama mudik dan berkumpul di rumah Mbah Putri dan Mbah Kakung di Magelang. Biar ramai sekalian, pikirnya. Dan sekali lagi, mumpung tanggal 23 Juni tersebut juga bertepatan dengan ulangtahunku, hehe. Itulah yang dinamakan kebetulan yang diusahakan.

Sisanya, aku hanya mengundang teman dekat saja. Benar-benar teman dekat di SMA dan kuliah. Itu pun sebisa mereka saja, toh awalnya aku mengabari mereka hanya bertujuan untuk memohon doa dari teman-teman. Kalau bisa hadir, tentu aku sangat senang. Dan sungguh sejujurnya momen lamaran adalah momen tersyahdu yang dihadiahkan Ibu di hari ulang tahunku. Teman teman dekatku, keluargaku, keluarga besarku, calonku, calon keluarga besarku, semua bisa berkumpul menjadi satu di acara itu. I’m so blessed!

Menentukan Tempat dan Konsep Acara
Saat itu betul-betul blank, karena Kakak laki-lakiku saja belum pernah lamaran. Dan lamaran teman-temanku sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Haha. Pun konsep mereka berbeda-beda. Ada yang lamaran resminya digelar malam sebelum akad nikah, ada juga yang hanya orangtua calon putri bertemu dengan orangtua calon putra.

Karena melihat jumlah sanak saudara yang sepertinya bisa hadir cukup banyak, sepertinya acara harus agak serius. Dan karena acara diadakan di rumah, maka Ibuku mengundang Bapak-Bapak tetangga kanan kiri untuk ikut menghadiri acara. Supaya apa? Supaya orang-orang kampung tahu bahwa kami resmi jadian dan kalau pergi berdua tidak terlalu diomongin orang! Hahaha. Gak ding. Ya sudah seyogianya seperti itu.

Tugas sebagai pembawa acara (MC) akan dibawakan oleh Bapak Kepala Desa yang kebetulan cukup dekat dengan keluargaku. Selain itu, beliau adalah orang yang sudah sangat berpengalaman bertutur kata dengan bahasa Jawa Kromo. Jadi ya no worries. Untuk pembacaan Al-Quran juga nanti dibawakan oleh Ibu hafizah yang rumahnya berseberangan dengan rumahku. Pak RW dan Pak RT kita persilakan untuk memberikan kata sambutan. Dan Omku, adik dari Ibuku didaulat untuk memperkenalkan silsilah keluarga nantinya.

Dari pihak putra, calon suamiku juga membawa seorang wakil keluarga yang akan memberikan speech mengenai maksud dan tujuan dari keluarga besar calon suamiku berbondong-bondong datang ke rumahku. Juga ada seseorang dari keluarga yang akan memperkenalkan silsilah keluarga calon suamiku.

Dapat disimpulkan bahwa acara lamaran berlangsung formal seperti acara upacara tujuhbelasan. Hehe. Oiya, dalam sesi lamaran, aku dan calon suami sepakat untuk tidak perlu ada speech dari kita berdua. Ala ala romansa itu loh. Tidak ada! Karena memang menjadi tokoh utama saat acara lamaran seperti ini saja sudah lumayan malu. Hahaha.


Menentukan Vendor

Kostum
Berkaitan dengan penghematan budget, maka tidak ada seragam untuk keluarga. Semua pakai bebas rapi saja, hahahaha. Aku sendiri sudah membeli kebaya langsung jadi di Thamrin City, lupa harganya berapa, tapi kalau tidak salah Rp 200,000 atau Rp 150,000 saja. Entah mengapa kebaya yang harganya lebih mahal kebetulan tidak cocok di badanku saat itu. Beneran loh. Haha. Untuk bawahannya aku beli kain, senada untuk dipakai Si Mas. Belinya di Pasar Tanah Abang, Rp 50,000 an per meter. Sungguh sebuah penghematan.

Ibuku dan Ibu besan kompak pakai kebaya warna senada, kuning hijau. Bapak mertua dan Kakakku juga kompak pakai batik dan peci. Untuk teman-teman dekatku yang perempuan aku ajak berbaju cantik warna pastel saja. Hihi. Saudara-saudara lain bebas rapi. Entah gamis entah batik. Toh mereka akan menyesuaikan.

Dekorasi
Untuk backdrop, karena memang acara kecil-kecilan saja (dan tentunya demi mensiasati biaya), maka rajin browsing vendor adalah koentji. Apalagi acara akan diadakan masih dalam suasana lebaran, jadi beberapa vendor dengan harga yang cocok masih libur. Huhuhu. Tak putus asa, hilir mudik di instagram, tanya sana sini untuk pricelist nya, dan dengan penuh keteguhan hati akhirnya kami putuskan untuk menggunakan jasa dekorasi dari seorang Mbak Mbak mahasiswa yang masih merintis usahanya. Sebetulnya dia sudah lama berkecimpung di dunia paper flower, tapi masih baru di dunia dekorasi.

Pada saat hari H, aku sendiri ikut menemani Mbak nya saat menyusun dekorasi. Jadi semua cukup sesuai dengan konsep di kepalaku. Tidak terlalu ramai dan yang simpel simpel saja. Intinya, tidak harus semua properti yang ditawarkan harus kamu ikutkan apabila memang tidak cocok dengan konsepmu. Bahkan karena saking bawelnya diriku, aku sendirilah yang menulis di papan-papan chalk board. Mbaknya pun mempersilakan tanpa merasa tersinggung. So everything is under control.

Make Up
Awalnya Ibu memaksaku untuk berdandan di salon. Katanya: ya masak kamu ga dandan! Aku bilang “Aduh, sudah mepet waktunya. Kemarin juga ga kepikiran pakai MUA”. Iya, aku lupa, antara tidak terpikirkan atau memang tidak ada di budget, aku benar-benar tidak mencari jasa MUA. Jadi aku berdandan sendiri. Alat make up juga sangat seadanya. Ibuku juga kudandani sendiri. Pikirku, toh cuma acara di rumah.. Tapi jujur saat mulai dandan sendiri, aku nervous juga. Layak kah hasil dandananku sendiri ini? Hahaha.

Sayang sekali mataku yang minus 3.5 ini lupa kubelikan soft lense. Jadi ya aku mengarungi acara lamaran itu tanpa kacamata! Hahahahahaha parah bangetttt. Sedih sih, jadi tidak terlalu jelas saat melihat keadaan di sekitarku.

Cincin
Cincin juga dibeli secara amat sangat mendadak. Toh memang tidak ada keinginan yang ribet soal cincin ini. Dan cincin lamaran ini sama dengan cincin pernikahan nanti.  Bedanya hanya saat lamaran disematkan di tangan kiri oleh Ibu mertua, sedangkan saat selesai akad nikah nanti cincin disematkan di tangan kanan oleh pasangan! Hehe.

Sesuai keinginan, cincinku ya biasa saja, cincin emas putih dengan aksen berlian kecil. Yang penting masih cocok dipakai sehari-sehari. Cincinku didapat di Toko Mas Bagong yang lokasinya di Hartono Mall. Enaknya beli emas di mall ya bisa ngadem. Ga pusing-pusing amat meskipun antre juga. Hahahah.

Sedangkan karena untuk pria muslim tidak boleh pakai emas, si Mas membeli cincin dengan material paladium. Untuk paladium konsekuensinya yaitu tidak bisa dijual kembali ya dan barang harus inden sekitar 1-2 bulan. Cincin ini didapat di Toko Mas Semar di Hartono Mall juga. Jadi untuk acara lamaran itu si Mas beli cincin perak di Kotagede yang modelnya nyerempet-nyerempet sama cincin akadnya. Hahaha.

Oiya untuk harga cincin ini sangat-sangat variatif sekali ya. Tergantung besar kecilnya cincin, pasti akan berpengaruh pada harganya.  Tapi tenang saja, untuk cincin bisa didapat dengan harga mulai 4jutaan sepasang sampai tak terhingga. Mau beli yang sepasang seharga 80juta juga bisa. Hehe. It’s all up to you bebi!



Nostalgia Kisah Lama





Dimulai dari kembalinya si Mas menghubungiku melalui chat Line (yang sebetulnya pernah dilakukannya, dengan kedok mengucapkan selamat ulangtahun ke 25, tahun 2017), tapi aku hanya membalas sekenanya dan tidak kemudian mengindahkannya.Maklum, saat itu kehidupanku masih sangat ruwet. Hahaha. Lalu dia muncul kembali di notifikasiku pada awal tahun 2018, juga secara biasa-biasa saja.

Saat itu posisi Mas penempatan di Bali, dan aku bekerja di Jakarta. Sedangkan kampung halaman kami ada di Jogja dan Magelang. Maka butuh sebuah kebetulan atau konspirasi alam yang luar biasa untuk bisa membuat kita bertemu, apalagi kembali dekat. Setelah beberapa kali bertemu saat sama-sama pulang kampung, intensitas komunikasi meningkat seiring berjalannya waktu. Lucu sekali. Semua terjadi secara biasa-biasa saja, pun sebetulnya sudah sedikit mengenal saat sama-sama ada di bangku kuliah kan.

Suatu hari di pertengahan bulan Maret atau April, aku lupa, pembicaraan yang selama ini diisi oleh omong kosong kesana kemari, tiba-tiba si Mas mulai nyerempet ke hal-hal yang sensitif bagiku.
“Iya, aku mulai ditanya orangtuaku, kapan mau serius sama cewek”
“Oh gitu ya. Iya sih, kan udah kerja juga, mau cari apalagi, ya kan, hehe”
“Iya. Ya aku cerita sih kalau aku lagi deket sama kamu aja”
“Hmmm. Gitu ya. Hahaha”
“Ya kalau kamu mau serius, aku serius. Siapa tau kita cocok, kita coba lanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius.”
“Emang... Kamu rencana nikahnya kapan?”
“Aku ga ada target sih, mungkin tahun depan”
“Oh gitu. Ya aku kalau memang ada yang serius dan kita sama-sama cocok, aku sih males pacaran aja. Kalau deketnya tahun ini ya aku pengennya ya dijelasin di tahun ini aja. Tapi kalau kamu siapnya tahun depan yaudah, ga usah diomongin ini sekarang, hehe.”

Intinya adalah: Aku jujur dengan apa yang ada di pikiran dan keinginanku. Entah bisa terwujud atau tidak, tapi yang penting aku sudah mengungkapkan apa yang ada di kepalaku. Perkara cocok atau tidak ya tidak masalah. Worst case nya, kalau dengan aku jujur terhadap keinginanku kemudian si Mas tidak cocok, ya anggap saja memang kita belum jodoh saat itu. Tidak apa apa. Nothing to lose. Sungguh tidak harus ada yang dipaksakan.

Sampai akhirnya setelah melalui perjalanan batin yang panjang, kami memberanikan diri untuk membawa ikhtiar itu ke arah yang lebih serius. Dan saat yang mendebarkan itu tiba, ketika kedua keluarga kami  pun bertemu untuk buka puasa bersama di kediamanku. Tepatnya pada 13 Juni 2018. Pada saat itu pula diputuskan untuk mengadakan acara lamaran di tanggal 23 Juni 2018. Satu minggu setelah lebaran, dan tepat di hari ulang tahunku.



Denpasar, 24 Juni 2019

Tuesday, 1 January 2019

Milestones of 2018








Demi menjaga keseimbangan yin dan yang, akhirnya kutengok kembali blog yang sudah mulai lapuk dan berdebu ini. Bangkit dari tidur panjang, kuingat-ingat dulu untuk apa susah payah aku mentrasfer memori hidupku menjadi kata. Oh, ternyata supaya di beberapa tahun ke depan aku bisa berkaca kembali seperti apa hidupku yang lalu lalu. Hampir setengah waras aku menjalani segenap tahun 2018-ku yang sangat menakjubkan. Tak terduga, so much surprises.

Januari 2018
Seperti orang kebanyakan, di awal tahun aku merajut mimpi-mimpi manisku. Tak patah arang aku rangkai kembali cita-cita apa yang sudah terserak di tahun 2016 yang carut marut itu. Tetap optimis meskipun hidupku pun waktu itu sebenarnya tak terlalu manis. Keinginan untuk resign yang meluap, lelah lahir dan batin, bingung, kacau, bimbang… literally quarter life crisis. Sampai di penghujung Januari muncul sebuah pesan singkat biasa dari teman lama. Biasa saja, toh semua dari kita juga saling menyapa meskipun tak ada sesuatu yang terencana.

Februari 2018
Got promotion in office for the first time! I should be thankful but turns out I wasn’t really. I really tired for the same thing after 2 years in the same field. 
Tetapi apapun itu harus tetap dijalani. Hingga akhirnya kembali impulsif untuk ikut Mamak dan Kakak trip ke Kuala Lumpur. Sayangnya kondisi stamina yang kurang fit dan ada kejadian tidak senonoh sebelum keberangkatan membuatku kesal pada diriku sendiri.
Awalnya aku senang bukan kepalang karena mendapat tiket promo seharga tidak lebih dari Rp 800,000 pulang-pergi CGK-KUL-CGK. Namun karena mepetnya deadline kerjaan kantor yang membuatku harus terjaga hingga dini hari selama berlarut-larut dan meeting serta presentasi bertubi, aku baru mulai packing pukul 01.00 pagi, penerbangan nanti pukul 06.00! Sampai kemudian aku sadari pasporku tidak ada di tempat biasa aku menyimpannya.
Dan singkat cerita, setelah kubongkar semua sudut kamar dan di kantor, aku tak menemukan dimana pasporku berada. Aku hampir gila. Bukan apa-apa, tapi kalau sampai Mamak dan Kakakku tau aku tidak jadi ikut hanya karena pasporku tidak ada, aku khawatir kalau mereka kemudian sedih dan mengkhawatirkanku. Kalau soal dimarahi sih masih tidak apa-apa.
Dan waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 pagi. Setelah lelah menangis, aku pun pasrah dan berserah. Hingga Allah mengetuk hatiku untuk menengok sudut kardus yang sangat berdebu dan lapuk itu. 100% aku yakin pasporku tidak akan ada di sana. Karena pun isinya hanya pecah belah yang tidak pernah kupakai. Tapi Qadarullah… PASPORKU ADA DI SANA!
Astagana, lemas aku melihat kelakuanku sendiri. Dengan pontang-panting aku cek tiket pesawat ke KL untuk hari itu juga. Ada! Pukul 13.30, lumayan lah dapat harga Rp 800,000-an juga sekali jalan. Jadi ya tidak jadi berhemat. Hahaha. Tapi tak apalah, sebuah pengalaman baru yang menamparku untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berhati-hati.

Maret 2018
Setelah pertarungan batin yang begitu panjang, aku memutuskan untuk menemui kembali teman lamaku yang kemarin sempat bertemu di bulan Februari lepas undangan pernikahan sahabatku Provita. Tidak besar ekspektasiku terhadap pertemuan itu. Sekedar bertemu kawan lama. Masih lekat dalam ingatan, pertemuan kami jauh dari istilah romantis. Betapa tidak, karena pertemuan itu di akhir bulan, aku harus sambil mengerjakan tugas kantor. Lucunya dia tidak bosan atau cemberut melihatku setelah makan malam hanya bergelut dengan laptop. Yang kuingat adalah sebelum kita berpisah, dia hanya bilang “Secepatnya ya”. Dan aku hanya bisa diam. Apanya yang secepatnya? Bertemu laginya? Atau apa? Ah sudahlah……


April 2018
Sebenarnya kepulanganku saat itu harus kutukar dengan pengalaman yang sudah sangat kunantikan. Teman-teman kantorku mendaki gunung Merbabu. Gunung yang sudah lama sekali ingin kukunjungi. Tetapi waktu seperti tidak memungkinkan. Ada yang harus kupastikan dengan serius menyangkut masa depanku.
Seperti agak hilang ingatan, tanpa sadar dia sudah ada di rumahku bertemu Ibuku dan Kakakku. Dan tak seperti biasa, untuk kali ini kakakku yang biasanya acuh tak acuh dengan takzim menemani tamuku mengobrol saat aku masih di dalam untuk siap-siap. Seperti ada yang tak biasa, padahal baru sekali mereka bertemu.
Dan untuk pertama kali itu pula aku bertemu dengan orangtuanya. Sungguh tak ada yang aku kurang-kurangi dari pernyataanku ini; jantungku seperti sedang naik jet coaster. Naik turun tidak pada tempatnya. Dia yang dulu pernah menjadi teman sebangku itu, sekarang menjadi aneh saat kami duduk hening bersebelahan di kotak kaleng berjalan itu. Lagu yang terdengar sayup-sayup di mobil benar-benar menolong kami, laksana debur ombak yang meramaikan keheningan laut.
Di bulan April jugalah untuk pertama kalinya aku dan sahabatku Fitri Wulandari diberi quality time yang begitu indah. Sudah lama kami ingin pergi berdua ke pantai tapi tak kunjung terlaksana. Dan akhirnya kami ke pantai pasir putih di daerah Gunung Kidul berdua. Iya, berdua. Meskipun menyetir semata wayang, tapi apa yang ada di dalam hati ini begitu gembira. Sampai kemudian dia bertanya; “Kamu sudah sebentar lagi ya Dek?”.

Mei 2018
Bulan puasa yang tidak terlalu berbeda dari biasa. Hanya lebih sibuk saja. Setiap ada akhir pekan yang senggang maka kudatangi mall, Pasar Tanabang, atau Thamrin City. Sekedar persiapan lebaran atau semata mencari materi untuk acara lamaran nanti entah kapan.

Juni 2018
Ponselku berkedip saat aku masih di perjalanan menuju Kota Kasablanka, menemui Charina untuk buka puasa bersama. Kabar itu  sepertinya sudah tiba. Kuangkat telepon itu dengan degup jantung yang memburu.
“Ya, halo”
“Halo, sudah selesai Dik ngomongnya”
“Hah, gimana??? Ceritain, ceritain”
“Ya gitu, tadi aku minta izin untuk serius sama kamu dan keluargaku mau main ke rumah untuk ketemu. Sebelum lebaran itu ya”
“Terus respon Mamak sama Kakak gimana?”
“Hahahaha iya tadi serius banget. Ya dibolehin asal visi misi kita sama”.
---------------------
Lebaran tahun ini ternyata begitu berbeda dari tahun sebelumnya. Tepat pada hari ulang tahunku, di depan keluarga besar kami masing-masing, kami resmi jadian. Alamak. Ditemani sahabat-sahabat dan saudara-saudaraku, semua terasa begitu teduh. Sejak hari itu pun mamakku selalu mengultimatum;
“ Mulai sekarang jangan main main lho ya, udah disaksiin banyak orang lho”.
---------------------
Pun sebenarnya kami belum ada omongan mau meresmikan hubungan ini kapan. Rencananya di akhir tahun saja, mungkin November atau Desember 2018. Menunggu Kakakku acara duluan.

Juli 2018
Sebetulnya Mamak sibuk mencarikan gedung untuk Kakakku, supaya setelah Kakakku settle mau tanggal berapa, baru aku dicarikan tanggalnya kemudian. Apalagi banyak masukan dari saudara perkara Kakak Adik tidak boleh menikah di tahun yang sama. Meskipun kami sekeluarga sebenarnya baik-baik saja jika ada pernikahan di tahun yang sama, tapi demi menjaga silaturahim dan ketentraman bersama, kami mengadopsi masukan tersebut. Dan keputusan keluarga adalah Kakakku menikah belakangan saja.

Agustus 2018
Mempersiapkan pernikahan dalam waktu kurang dari 3bulan, ditambah dengan kepindahan ke departemen baru yang notabene lingkup kerja lebih kompleks, adalah perpaduan yang kusarankan untuk dihindari saja. Sungguh menguras tenaga, waktu, pikiran, dan…. dana. Karena percayalah, saat kita membutuhkan segala sesuatu secara mendadak dan waktu riset tidak banyak, maka opsi yang tersisa datang bersama konsekuensinya; seadanya atau tinggi harganya. 
Tapi apapun itu, aku sangat bersyukur ada kesempatan untuk menimba ilmu di departemen lain di saat aku benar-benar sudah ingin melenggang kangkung dari tempatku bekerja ke perusahaan yang sudah aku datangi sesi wawancaranya dan tinggal medical check up saja.

September 2018
Officially I became Mrs. Handoko!
Sungguh setelah beribu hari aku bersemedi mencari tahu siapakah partner hidupku kelak, maka pada akhirnya hari itu tiba. Kalau kata Kunto Aji dalam lirik lagunya; Jangkar sudah terjatuh dan aku benar-benar luluh. Seperti mimpi. Benar-benar aneh rasanya. Begitu banyak tamu yang datang dan itu adalah acaraku. Oh, jadi seperti ini toh rasanya menikah. Panas di kepala berminggu-minggu lamanya menyiapkan hari ini seperti air yang diguyur ke dalam tumis. I am speechless.

Oktober 2018
Resepsi + Ngunduh mantu = Cuti panjang!
Saatnya untuk mensyukuri apa yang terjadi. Mengundang teman dan saudara dalam tasyakuran sederhana yang dilangsungkan di tempat Ibu bekerja dulu. Auditorium LPP. Seperti yang diimpikan Kakakku. Sungguh terharu aku melihat teman-temanku serta teman-teman suamiku bisa turut hadir. Ternyata kehadiran mereka begitu besar artinya di hati kami. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada seluruh pihak yang turut memeriahkan suasana.
Melepas penat sejenak dengan berlibur ke Dieng Wonosobo berdua, terasa menyenangkan. Tempat yang jauh dari keramaian dan hingar bingar hedonisme menghanyutkan kami berdua dalam syukur yang begitu dalam. Dan Alhamdulillah acara ngunduh mantu di Magelang juga berjalan lancar.

November 2018
Disibukkan dengan aktivitas kantor yang menggila. Budgeting, stock taking. Untuk pertama kalinya sedih karena pulang sampai larut, dan Pak Danung menungguku sampai dia mengantuk. Hampir setiap minggu kerjaanku packing. Ke Tangerang, ke Cikarang, ke Surabaya, ke Bandung. Tapi yang menyenangkan adalah ketika Allah memberi kejutan bahwa pesawat Pak Danung transit di Surabaya dulu selepas dari Sorong menuju Bali. Begitulah kesempurnaan rencana Allah. Karena masih bertugas di Surabaya, kami pun sempat short trip di Surabaya. Unexpected holiday.

Desember 2018
Liburan yang ditunggu-tunggu pun tiba! Thailand bersama teman-teman perempuan!
Sudah sejak bulan Maret 2018 kami membeli tiket dan mempersiapkan segala perlengkapan lenongnya. Menjadi liburan penutup akhir tahun yang manis dan betul-betul harus disyukuri Allah memberi kelancaran. Sudah sejak di bangku kuliah aku bermimpi bisa jalan-jalan ke sana. Dan kesempatan itu tiba. Meskipun belum maksimal, tetapi tak apa, aku yakin jika berusaha, maka suatu hari bisa ke tempat itu lagi.

Dan pada kesimpulannya adalah; Allah adalah sebaik-baik perancang. Boleh saja kita bercita-cita apapun, namun mengembalikan semuanya lagi kepada Yang Maha Agung adalah sebuah keseimbangan yang harus dilakukan. 
Pada setiap kejadian yang kita rasa begitu memberatkan, maka carilah kebaikan atau hikmah apa yang Allah ingin sampaikan pada kita. Tidak apa, semua memiliki garis masanya masing-masing. 
Semoga kita menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.

Maafkan apa yang pernah dirasa pernah torehkan kecewa.
Dan semoga kita pun dimaafkan atas apa menurut yang lain kurang pas di hatinya.


Bergembiralah, karena semua yang terjadi pada kita apabila atas izin Allah adalah baik.



Jakarta, 1 Januari 2019.

Sunday, 21 October 2018

Haru





“Bersyukurlah dan berterima kasihlah pada Allah karena Dia telah menunjukkanmu salah satu dari ketiga rahasia-Nya: Rezeki, Jodoh, dan Mati”.

“Jangan membeda-bedakan sesuatu yang sama, dan jangan menyama-nyamakan sesuatu yang memang berbeda”.

“Kuncinya adalah: bersyukur, ikhlas, dan niat untuk beribadah seumur hidup’”.

“Semoga Nakku menjadi keluarga yang sakinah, mawwadah, warahmah”.

“Menikah adalah perjuangan seumur hidup, ketika badai sedang menghadang, ingatlah saat engkau pernah memulai”.

“Kalau yang satu sedang marah, yang satu jangan ikut marah”.

“Yang rukun ya kalian berdua, jangan pada bertengkar”.


I found my home.



Perjalanan menuju Jakarta, 21 Oktober 2018

Sunday, 3 June 2018



Kemudian aku bertemu kembali setelah lebih kurang empat tahun tak pernah berjumpa denganmu. Dan kau masih hampir sama seperti dulu. Jenaka. 
Meskipun aku menangkap sedikit canggung yang masih belum bisa kau bendung. 
Entah mengapa kemarin kita memaksakan diri untuk bertemu. 
Padahal saat itu sangat terbatas oleh waktu.

Tak banyak yang kita saling ramai bicara.
Namun bagian terbaiknya adalah di tiga puluh menit terakhir kau mengajakku masuk ke toko buku dan kita menuju ke deretan rak yang sama. Lebih menyenangkan dari kita makan mi goreng asin di restoran lantai atas sana.

Dan sejak hari itu kau berhasil membuatku susah lupa.
Di mana akhir perjumpaan yang singkat itu kau tutup dengan;
“Oke. Bulan depan kita ketemu lagi ya. Aku serius”.
Lalu kita berpisah dan pulang berlawanan arah.

Tak banyak yang bisa aku tangkap, dan tak banyak yang bisa aku duga.
Dan sebaiknya memang tak usah kulakukan.

Pening kepalaku dipenuhi teka teki akan langkahmu.



19 Februari 2018




Tuesday, 10 April 2018

Menuju Puncak dan Meniti Turun Gunung Cikuray (2 of 2)







Summit Time, 04.30 am
Alarm dari masing-masing ponsel peserta mulai berdengking-dengking dari pukul 04.00. Demi summit yang sempurna, mau tidak mau kami membuka mata dan mulai bersiap. Membawa beberapa cemilan dan botol air minum, sebelum menuju puncak kami memanjatkan doa bersama terlebih dahulu bersama anggota yang lain. Kira-kira mulai pukul 04.30 lah kita mulai menapaki rintangan-rintangan yang gelap tak terlihat. Oiya, jangan lupa membawa headlamp atau senter! Namanya juga di gunung, tidak mungkin ada lampu jalan.
Bagi saya, perjalanan menuju puncak cukup membuat ngos-ngos-an. Mungkin karena mesin belum panas. Ya mungkin saja. Tapi ya apa mungkin karena lapar juga bisa. Atau karena memang stamina yang terlalu letoy. Yang jelas, jarak tempuh kira-kira hampir 1 jam. Padahal seharusnya untuk anak muda yang masih lincah hanya butuh 20 menit. Tidak banyak yang saya ingat, karena jalanan masih gelap. Namun di tengah perjalanan memang beberapa kali kami sempat berhenti untuk sekedar makan soyjoy atau mencuri-curi nafas.

Lambat laun, ranting-ranting pohon rimbun yang menaungi kami mulai tersibak. Dan harapan itu muncul berwujud warna langit yang berwarna jingga keunguan. Nampak perlahan-lahan. Sekitar pukul 5.45 tibalah kami di puncak 2812mdpl. Hening.
Terlalu indah untuk dideskripsikan. Mata ini dimanjakan dengan gulungan awan tebal berlapis yang terhampar begitu elok. Seperti berada di atas awan. Berpadu dengan semburat matahari terbit, tiada yang ingin diucapkan selain rasa syukur.

Kontemplasi di Puncak Gunung
Apa ya. Ya mungkin seperti inilah yang selalu dibilang orang-orang, bahwa terseok seoknya di perjalanan itu akan lunas terbayar saat kita mendapat bonus pemandangan di puncak sini. Tapi kemudian saya berpikir kembali, mengapa pula orang-orang berpesan bahwa jangan jadikan puncak adalah tujuan? Setelah lama terdiam, sepertinya pelan-pelan saya menemukan jawabannya.

Mungkin saat itu puncak gunung terasa begitu indah karena memang sejak pertama kali kaki ini menapak keluar dari kos-kosan, saya tidak berekspektasi apa-apa terhadap cantiknya puncak Gunung Cikuray. Perjalanan yang berat dan minim pemandangan sudah saya ketahui infonya. Betul-betul saat itu memutuskan beramai-ramai naik gunung murni karena memang mau berpetualang saja. Tidak hujan di perjalanan saja sudah kami syukuri bukan main. Jadi memang tidak ada keinginan yang muluk bahwa nanti akan mendapati keindahan di puncak. Tidak adanya ekspektasi justru membawa saya menjadi sangat bersyukur ketika mendapatkan sesuatu.

Di Puncak Ada Penjual Tahu
Ya, di puncak Gunung Cikuray satu-satunya penjual yang exist adalah penjual tahu . Kami menyebutnya tahu dingin. Karena memang tahunya dingin. Terlalu lama di puncak sepertinya. Hahahahah. Sungguh tidak terbayang bagaimana cara abang-abang itu membawa gerobak pikulnya naik ke atas. Sayang sekali lupa kefoto. Selain itu tidak ada lagi penjual makanan di atas sana. Tidak ada penjual air, mi instan, deterjen, shampoo, dsb. Juga tidak ada toilet umum. Jadi ya betul-betul harus siap logistic dari bawah.

Kondisi di puncak terdapat satu gardu, beberapa batang pohon, dan sisanya tanah lapang (tidak terlalu lapang) yang terhampar. Ternyata cukup banyak pendaki yang menggelar tenda bermalam di sini. Haduh, tak terbayangkan bagaimana dinginnya di malam hari atau kalau-kalau ada angin besar sedang datang bertandang.



Sunday, 4 June 2017

9 Jam Pendakian Heroik Gunung Cikuray (Belum Puncak) - 1 of 2

Preambul
Piknik kali ini disponsori oleh rasa nekad yang tak terbendung dengan diiringi doa tak henti-henti. Berawal dari ditutupnya Gunung Gede dan Gunung Ciremai, tujuan piknik diubah secara dinamis ke Gunung Cikuray. Dan ternyata benar, Cikuray memang luar biasa. Bagi saya yg baru sekali piknik ke gunung ini, apalagi waktu itu cuma Papandayan, track di Cikuray ini sungguh..... way too far yet challenging. Bisa kembali ke Jakarta adalah sebuah anugerah luar biasa dan tak ternilai dari Tuhan Yang Maha Esa.

Terlebih, perjalanan dilakukan di 18-19 Februari 2017, masa dimana cuaca sedang tidak bisa diprediksi. Curah hujan sedang tinggi-tingginya, dan sering ada berita mengenai pendaki-pendaki tersesat atau mengalami kejadian tidak diharapapkan. Jakarta hampir setiap hari diguyur hujan super deras. Beberapa teman kantor (dan bahkan anggota paguyuban ini) mulai meragukan jadi atau tidaknya perjalanan dilaksanakan. Berbekal pantauan cuaca dari aplikasi di ponsel yang menunjukkan bahwa pada 18 dan 19 Februari cuaca di Cikuray akan cerah sedikit berawan, dan Gunung Cikuray masih dibuka, kami membulatkan tekad untuk berangkat.

Sekilas membaca review para pendaki cantik dan tampan, memang menceritakan betapa ganasnya Cikuray; tidak adanya pemandangan, sering hujan, tidak ada air, mistis, tidak ada warung, tidak ada sinyal. Yaiyalah. Entahlah, beberapa di antara kami (lengkap ada 7 personel), berpikir Cikuray ini paling juga tidak jauh seperti Papandayan, ya kakak adik lah. Trek kejamnya ya mungkin tiga empat titik saja. Beberapanya lagi....mungkin tidak berpikiran apa-apa, tinggal ikut saja.

Komposisi Anggota Piknik
Personil piknik kali ini cukup unik, yakni 4 wanita dan 3 pria. Dengan karakteristik sebagai berikut:
1 pria yang sudah beberapa kali naik gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, tapi itu terjadi lima tahun silam dan sekarang fisiknya sudah tak sekekar dulu. Sebut saja Fajar.
1 pria yang dua kali naik gunung Papandayan, Gede (tapi tak sampai puncak), dan Slamet. Sebut saja Bungaran.
1 pria yang baru naik Kawah Ijen dan Papandayan. Sebut saja Maul.
1 wanita yang pernah ke gunung di Jawa Barat tapi itu juga terjadi beberapa tahun silam. Sebut saja Arum.
1 wanita yang pernah ke Ijen dan Papandayan. Sebut saja Amalia.
1 wanita yang baru sekali naik ke Papandayan. Sebut saja saya.
1 wanita yang belum pernah naik gunung sama sekali. Sebut saja Ervina.
Usaha kami dalam membentuk mental dan fisik dan mendukung yakni melakukan olahraga bersama secara rutin. Yakni, bulutangkis seminggu sekali! Hahahahahahahahahahaha rajin sekali bukan.

Itinerary
Jumat, 17 Februari 2017
Kami janjian secara sadar untuk bertemu di pool Primajasa Cililitan pukul 21:00, karena berencana mengambil keberangkatan bus ke Garut paling akhir, jam 22:30. Tapi apalah daya, ada seorang rekan yang jam 19:30 pun masih tertahan di kantor karena masih dalam suasana closing, padahal dia belum packing sama sekali. Ada lagi yang lain yang masih cari makan lah, dsb, dsb. Bungaran yang sudah duluan sampai di pool gusar abis karena bus terakhir sudah terisi beberapa orang dan kami belum ada yang datang. Bahkan pukul 21:30 terpantau kami masih kena macet di jembatan Kalibata yang budiman. Namun syukurlah kurang lebih pukul 22:00 lebih sedikit, semua personil sudah berkumpul. Setelah baku hantam dengan penumpang yang lain, kami mendapat kursi yang berdekatan. Entah mengapa malam itu bus lebih penuh dari perjalanan ke Papandayan sebelumnya. Bahkan ada mas-mas yang rela berdiri di lorong bus. Perjalanan terasa kurang nyaman karena saya duduk di bus yang kursinya berjejer 3 orang. Sempit bu.

Sabtu, 18 Februari 2017
Pukul 01:00
Bus berhenti sejenak di...... Lembang!!!! Alamak. Ternyata bus kami memutar ke Bandung dulu. Berhenti di sebuah warung ayam goreng yang keliatannya hmmmm. Enak. Perjalanan yang tadinya diestimasikan jam 01.30 sudah sampai Terminal Guntur menjadi lari dari jadwal. Jalanan sangat macet karena ada jembatan Cianjur-Bandung yang putus karena banjir beberapa hari terakhir. Ya sudahlah kami pasrah saja, hitung-hitung sambil meluruskan persendian.

Pukul 04.30
Terdengar mas-mas kondektur mengetok-ngetok pintu bus. Beberapa mas-mas pendaki mulai menuruni bus. Dan beberapa bapak-bapak dari luar bus menawarkan tumpangannya ke berbagai gunung.
“Yok, Cikuray, Cikuray, Cikuray.”
Setelah beberapa dari kami sholat subuh, membeli persediaan air di warung, dan selfie, kami menaiki bak mobil terbuka itu. Disepakati harganya 350ribu per perjalanan sampai ke pos pemancar, bukan hanya sampai kebun teh. Karena setelah membaca banyak ulasan, beberapa pendaki hanya diturunkan sampai di kebun teh dan harus berjalan lagi sampai ke pos pemancar padahal jalannya masih sangat jauh dan lumayan.
Blur. 5 of 8

Atas instruksi dari mas supir, kami membeli sarapan di sebuah warung yang ditunjukkan oleh mas supir. Dengan berbagai pertimbangan, per orang dari kami membeli sebungkus nasi untuk sarapan dan sebungkus lagi untuk makan siang. Menu yang ada di warung itu variatif sekali loh, dan terjangkau. Setelah membeli nasi bungkus, perjalanan diteruskan. Kami menyantap sarapan di sebuah pondokan dengan pemandangan kebun teh yang terhampar. Syahdu.




Setelah dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan. Pemandangan sangat indah, dan udara sangat sejuk. Semangat masih penuh. Suara gelak tawa masih konstan terdengar. Sampai akhirnya sampailah kita di pemberhentian kendaraan terakhir, pos pemancar. Di pos pemancar masih ada beberapa warung yang menjajakan gorengan, indomie, shampoo, kopi, dan stuffs penting lainnya.

Dari pemberhentian mobil bak terbuka nampaklah kebun teh yang melamai-lambai untuk didaki. Jantung mulai berdegup seiring punggung ini mulai menyamankan diri dengan carrier kapasitas 30+5L ini.  2 botol air mineral 1.5L penuh, ransum sarapan dan makan siang, matras, baju ganti, mantel, saling berbagi ruang di dalam tas pinjaman ini. Tak lupa menyelipkan madu dan soyjoy, yang katanya berfungsi mengenyangkan sejenak saat perut tiba-tiba terasa lapar nanti. Perjalanan pun dimulai dengan berdoa bersama, menurut keyakinan masing-masing. Berdoa, mulai.....



Pukul 08.30
Percayalah, baru beberapa ratus meter menaiki anak tangga di kebun teh itu, rasanya nyali ini menciut betul. Lelah. Belum lagi cacing-cacing gunung dan lintah yang mulai keluar sebab musim hujan sedang berlangsung. Setidaknya, pemandangan masih indah untuk dilihat. Saya pun masih bersemangat mengambil gambar di sekitar, mengabadikan pose teman-teman, atau... minta tolong teman untuk mengabadikan gambar saya.

Setelah melaporkan data diri di pos pertama yang kita temui, serta membayar beberapa puluh ribu rupiah di loket, kami kembali meneruskan perjalanan. Belum ada setengah jam berjalan, kami dibuat ternganga dengan undakan-undakan yang melihat ujungnya saja kepala kita harus benar-benar mendongak. Jadilah apa yang terjadi. Kita beristirahat beberapa kali. Beberapa kali. Lelah yang teramat sangat. Oiya bagi teman-teman yang muslim, di sepanjang jalan Cikuray ini, saya melihat beberapa papan tulisan arab, ada yang bertuliskan salam, syahadat, istighfar, dsb. Tujuannya tentu mengingatkan teman-teman untuk tetap mengingat Tuhan selama di perjalanan ya.




Salah satu tulisan arab berlafal syahadat di batang pohon

Surprise

Pukul 09.44
Masih bergulat di undakan, mencari pos 2 yang kami kira akan dekat seperti pos satu dengan yang lainnya di Papandayan. Rasanya sudah jauh dan lelah sekali melangkahkan kaki, tapi yang bikin sedih yaitu masih terdengarnya suara motor dan musik berdentum-dentum, yang menunjukkan bahwa kita masih dekat dengan pemukiman. Oh so sad...

Pukul 10.30
Kami mulai memasuki hutan belantara. Hanya ada jalan setapak yang diapit pepohonan besar. Pepohonan yang rimbun. Pepohonan  yang akarnya mencuat keluar. Tak terhitung berapa kali kami berhenti beristirahat. Dopping dengan air mineral, madu, mulai terjadi. Dan jangan ditanyakan lagi sudah berapa kali terlontar kalimat “Ngapain sih kita di sini?!!”. Rasanya ingin pulang saat melihat tanjakan demi tanjakan yang mengharuskan kita berjibaku antara lutut dengan dagu. Really, really, undescribable feelings....

Saat itu kami berbarengan dengan beberapa rombongan lain. Tidak seperti Papandayan, perbandingan antara wanita dan pria di sini timpang sekali. Sangat jarang kami melihat mbak-mbak yang mendaki. Ada, tapi tidak banyak. Lumayan terobati lah ketakutan saya pribadi, bahwasanya ada juga orang lain yang sedang melakukan perjalanan ‘gila’.





Pukul 12.05 – Pos 2!
Telah sampailah kita di saat yang agak berbahagia. Memang benar bahwa selalu ada harapan di setiap keputus asaan. Akhirnya tulisan ‘pos 2’ itu terlihat juga oleh mata kami yang mulai berkunang ini. Tanpa babibu lagi, masing-masing di antara kami langsung mencari tempat paling nyaman untuk dikuasai. Kami sepakat untuk berhenti agak lama di sini. Karena belum terlalu lapar, kami memilih pisang untuk mengganjal perut. Di jam ini kami masih sedikit waras. Senyum senyum masih tersungging di bibir masing-masing anggota meskipun keringat bercucuran. Melihat waktu sudah masuk sholat zuhur, akhirnya sholat zuhur jamak ashar dilakukan di pos 2 beralaskan matras. Syahdu.

Laksana oase di padang pasir 

Di saat wajah masih mampu menyunggingkan senyum

Syahdu


Pukul 12.50
Perjalanan kembali dilanjutkan. Akar demi akar telah kita lalui dengan khidmat. Jika memanjat tidak memungkinkan, merangkak bisa dijadikan sebagai pilihan. Lagi-lagi yang kami lihat adalah pepohonan, pepohonan, dan pepohonan. Saat itulah kabut perlahan mulai turun menyusup. Badan yang penuh keringat ini terasa dingin sebab udara mulai terasa lembab. Perkiraan kami,  butuh waktu setengah jam atau satu jam sampai ke pos 3. Nyatanya tidak. Tanjakan demi tanjakan yang dilalui masih belum menunjukkan papan bertuliskan ‘pos 3’.

Pukul 15.00 – Pos 3!
Rasanya seperti halusinasi saat saya melihat papan tertancap tinggi di sebuah pohon. Menyadari bahwa mata saya minus, sata tak ingin memberi harapan kepada teman-teman di belakang bahwa pos 3 sudah terlihat kasat mata. Dengan mengerjap-ngerjap, akhirnya dengan nafas tersengal saya beritakan kabar gembira ini kepada rekan seperjuangan yang wajahnya sudah carut marut seperti habis tersapu badai. Lima setengah jam perjalanan sudah cukup menguras tenaga kita yang tak seberapa ini.

Pos 3 ini tidak terlalu luas, dan tidak banyak tempat landai untuk duduk dengan tenang apalagi saat banyak rombongan tiba di situ. Melihat undakan yang menjulang tinggi di depan membuat saya ingin menggelinding pulang saja rasanya. Menyadari bahwa hari mulai menuju senja, sedangkan kita baru menemukan pos 3 dari 7 pos yang ada, kami memutuskan untuk tidak terlalu lama berleha-leha.


Pos 3

Mencoba tegar


Pukul 15.27
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kabut semakin tebal turun, dan yang kita khawatirkan hanyalah hujan yang jika nanti tiba-tiba turun. Geluduk mulai berbunyi sekali dua kali. Dan mulailah hujan rintik-rintik turun, mantel kami pun menjadi ada fungsinya. Kekhawatiran-kekhawatiran semakin menumpuk saat hujan mulai deras. Asli. Mau putar balik sudah lebih dari setengah jalan, mau lanjut tapi rasanya sudah mau meledak.

Selepas dari pos 3 ini saya sudah tidak bisa mendokumentasikan dengan kamera lagi karena hujan turun dan saya sudah menjejalkan kamera sedalam-dalamnya ke ransel hijau yang penuh ini. Telapak kaki dan betis terasa mulai kaku-kaku, pegal-pegal, sekali dua kali kram, panas dalam, dan sebagainya. Kabar baiknya, dari pos 3 menuju ke pos 4, pos 5, dan pos 6 ini jaraknya sudah tidak sesadis dari jarak pos 1 ke pos 2 dan pos 2 ke pos 3 kok. Dan untungnya, hujan sudah tidak lagi turun.


Perjuangan kawan-kawankoe


Kabut


Pukul 17.30 – Pos 6!
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya atas izin-Nya lah kami telah tiba di pos yang diharap-harapkan. Karena sudah menipisnya tenaga (bahkan hampir defisit mungkin), kami pasrah saja untuk mendirikan tenda di sini, bukan di pos 6+ atau pos 7, atau di puncak. Kami mulai memilih memonopoli 2 kapling paling ujung, dan berbagi tugas. Para pria mendirikan tenda, dan para wanita mulai menggoreng nugget, membuat air hangat, menanak nasi (yang akhirnya gagal), dan hal remeh temeh lainnya.

Dingin di Gunung Cikuray sungguh menusuk, fellas. Dengan baju berlapis empat plus jaket dan kaos kaki serta sarung tangan, rasanya masih saja tangan ini tak senang menyentuh benda-benda yang menjadi dingin di sana. Dan terungkaplah fungsi matras yang kita gendong-gendong dari Jakarta ini. Ternyata sebagai alas tidur supaya tidak terlalu dingin saat badan kita menyentuh tanah ya. Hahahahaha.

Pukul 20.00
Kami sudah mulai masuk ke tenda masing-masing dan tak butuh waktu lama untuk terlelap karena badan rasanya sudah terlalu lunglai untuk diajak beraktivitas lagi. Demi summit besok pagi, kami janjian untuk bangun pukul 4 pagi. See you tomorrow, masyarakat!


Budget per orang (tahun 2017)
Bus Primajasa Cililitan (Jakarta Selatan) – Terminal Guntur      : Rp 52,000
Bak terbuka sejak turun bus sampai pos pemancar                      : Rp 50,000
Retribusi muncak dan menginap                                                  : lupa :(
Bak terbuka sejak dari pos pemancar ke Terminal Guntur           : Rp 50,000
Bus Primajasa Terminal Guntur – Kampung Rambutan              : Rp 52,000

Blogger Babes are Sophisticated Bloggers Seeking Simple Solutions and Support indonesian hijabblogger